Langsung ke konten utama

Sosialisasi Narasi Moderasi Beragama

Sosialisasi gagasan dan narasi moderasi beragama bagi sebanyak mungkin khalayak dilakukan untuk membangun kesadaran bersama masyarakat Indonesia atas pentingnya memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama jalan tengah. Berbagai bentuk sosialisasi ini diarahkan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan moderasi beragama, mengapa perlu moderasi beragama, serta bagaimana cara mengimplementasikannya dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks Indonesia, khususnya dalam ruang lingkup Kementerian Agama, sosialisasi moderasi beragama ini mulai dilakukan secara sistematis, setidaknya sejak awal Lukman Hakim Saifuddin menjabat kembali sebagai Menteri Agama pada masa Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. 
Sosialisasi Narasi Moderasi Beragama
Image: _el_alef

Secara susbtantif, gagasan “jalan tengah” (the middle path) dalam beragama memang sudah pernah dikemukakan oleh Menteri Agama sebelumnya, seperti Tarmizi Taher, yang menerbitkan buku Aspiring for the Middle Path: Religius Harmony in Indonesia (1997). Buku, yang awalnya merupakan kumpulan teks pidato Tarmizi Taher selama menjabat sebagai Menteri Agama (1993-1998) ini merefleksikan empat tema besar, yakni: hubungan Pancasila dan agama, posisi dan kontribusi Muslim Indonesia dalam konteks global, konsep Muslim sebagai umat jalan tengah (ummatan wasaṭhan), serta pandangan Islam tentang sains dan teknologi.

Jadi, dalam buku tersebut gagasan moderasi hanya disinggung sebagai salah satu tema yang diangkat oleh Tarmizi Taher, itu pun hanya dalam konteks Islam. Hingga kepemimpinan Suryadharma Ali sebagai Menteri Agama, gagasan moderasi memang belum dijadikan sebagai visi utama Kementerian Agama, dan belum ada upaya penguatan di level nasional, sehingga masih sangat parsial dikumandangkan dalam konteks menjaga harmoni dan kerukunan umat beragama. (Hal 111)

Di era kepemimpinan Lukman Hakim Saifuddin, moderasi beragama dirumuskan sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku dengan selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam pemahaman dan praktik beragama. Sejak itu, Kementerian Agama mengupayakan agar moderasi beragama menjadi bagian dari cara pandang pemerintah dalam merencanakan pembangunan nasional, dan dalam membangun sumber daya manusianya.

Mengapa ini dilakukan? Salah satu pertimbangannya adalah karena keunikan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Ia bukan negara agama, tapi semua aspek kehidupan seharihari, bermasyarakat dan bernegaranya tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama, sehingga secara umum masyarakat Indonesia sangat relijius. Karenanya, meski bukan negara agama, pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Agama, berusaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam agama, agar menjadi inspirasi utama dalam membentuk karakter bangsa Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.

Pemerintah memiliki visi untuk menyeimbangkan pembangunan fisik dan mental manusia Indonesia, dengan berlandaskan pada pengetahuan dan agama secara berbarengan. Internalisasi nilai-nilai agama diharapkan dapat mem­perkokoh komitmen kebangsaan, bukan sebaliknya menggerogotinya, sehingga nilai-nilai yang ditanamkan itu harus bersifat inklusif, toleran, rukun, nirkekerasan, mau menerima perbedaan, serta saling menghargai keragaman. Inilah sesungguhnya pesan yang terkandung dalam moderasi beragama, yakni kembali pada esensi agama untuk menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. (Hal 112)

Dalam moderasi beragama ada prinsip keseimbangan, kesederhanaan, kesantunan, dan persaudaraan. Ekspresi keagamaan diungkapkan dengan santun, dan agama menekankan persaudaraan. Berbeda boleh, tapi tetap santun, saling empati. Substansi moderasi beragama sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat di seluruh Nusantara dan telah menjadi kearifan lokal yang berfungsi sebagai mekanisme dalam mengelola keragaman (Sila, 2017). Intinya, kearifan lokal yang bersumber dari nilai-nilai agama sebagai khazanah warisan para leluhur dan juga telah terbukti mampu menyelesaikan konflik-konflik keagaman sejak dahulu kala. Moderasi beragama adalah nilai-nilai fundamental yang menjadi fondasi dan filosofi masyarakat di Nusantara. Nilai ini ada di semua agama, karena semua agama pada dasarnya mengajarkan nilai nilai kemanusiaan yang sama. 

Sebagai Menteri Agama, dengan visi moderasi beragama, Lukman Hakim Saifuddin tidak hanya menyisipkannya dalam setiap pidatonya melainkan menginstruksikan kepada seluruh jajarannya agar menerjemahkannya ke dalam berbagai program. Ia juga menginisiasi dialog intens kaum agamawan, budayawan, akademisi, dan kaum milenial agar tercipta harmoni dan saling pengertian. (Hal 113)

Pada November 2018, misalnya, Kementerian Agama menggelar sarasehan agamawan dan budayawan di Yogyakarta untuk memoderasi kepentingan pengembangan agama dan budaya. Pertemuan itu menghasilkan “Permufakatan Yogyakarta”, yang menyerukan agar dalam konteks berbangsa dan bernegara, budaya dan agama tidak dipertentangkan. Pengembangan budaya di Indonesia harus menghargai nilai­ -nilai prinsipil dalam agama, dan sebaliknya pengembangan agama juga tidak boleh mengakibatkan hancurnya keragaman budaya, tradisi, dan adat istiadat di Indonesia.

Dalam merespon permufakatan budayawan dan agamawan tersebut, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menyampaikan tanggapannya secara khusus (Kompas, 6/11/2018), yang salah satu poin utamanya adalah seruan agar dalam konteks berbangsa dan bernegara, budaya dan agama tidak dipertentangkan. Pengembangan budaya sudah seharusnya menghargai nilai-nilai agama, dan pengembangan agama juga tidak menghancurkan keragaman adat istiadat dan budaya.

Untuk lebih menguatkan lagi harmoni dan kerukunan umat beragama, menjelang tutup tahun 2018, Kementerian Agama kembali menggelar dialog antariman dan antargenerasi di Ancol, Jakarta. Tidak kurang dari 50 agamawan, budayawan, akademisi, generasi milenial, dan kalangan media hadir membicarakan fenomena perilaku kehidupan beragama yang menunjukkan adanya kecenderungan mereduksi nilai-nilai luhur agama menjadi terbatas pada penonjolanaspek-aspek lahir, formalisme hukum dan politik, seraya mengabaikan aspek-aspek moral dan spiritual agama. (Hal 114)

Dialog Ancol itu menghasilkan dokumen “Risalah Jakarta tentang Kehidupan Beragama di Indonesia”, yang sebagian besar isinya menguatkan argumen pentingnya penguatan moderasi beragama. Para peserta, misalnya, sepakat bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia, agama diyakini sebagai sumber nilai yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seharihari. 

Kehidupan beragama dalam konteks kekinian juga menunjukkan fenomena pendangkalan pengetahuan akibat indoktrinasi serta ketersediaan bacaan yang serba instan dan serba cepat di media sosial, sehingga lebih mengedepankan emosi ketimbang rasa. Akibatnya, fenomena itu melahirkan sikap konservatif dalam beragama. Sesungguhnya, konservatisme sebagai karakter dasar agama, tidak bermasalah sejauh dipahami sebagai usaha merawat ajaran dan tradisi keagamaan. Tetapi, konservatisme dapat menjadi ancaman serius ketika berubah menjadi eksklusifisme dan ekstremisme agama, dan menjadi alat bagi kepentingan politik. Eksklusifisme dan ekstremisme agama justru menjauhkan peran utama agama yang bukan hanya panduan moral spiritual, bahkan menjadi sumber kreasi dan inspirasi kebudayaan.

Lebih dari itu, eksklusifisme dan ekstremisme beragama telah mereduksi dan mengingkari esensi ajaran agama itu sendiri, serta dalam konteks kekinian telah mengekang kreativitas sekaligus menghilangkan rasa aman para generasi muda yang selama ini berkreasi menyisipkan muatan nilai-nilai agama di ruang-ruang digital. (Hal 115)

Konservatisme yang mengarah pada eksklusifisme dan ekstremisme beragama seringkali dipicu faktor-faktor yang tidak selalu bersifat keagamaan melainkan rasa tidak aman akibat ketidakadilan (politik maupun ekonomi), formalisme hukum, politisasi agama, dan cara berkebudayaan. Pertarungan pada ranah kebudayaan menjadi pertarungan strategis. Karena itu, agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Butir yang terakhir ini menjadi alasan kuat menjadikan semangat moderasi sebagai perekat kembali relasi agama dan budaya.

Penguatan relasi agama dan budaya ini sangat penting diupayakan secara bersama-sama karena berkat keragaman dan modal sosial yang dimiliki, Indonesia mewarisi banyak ritual budaya, festival, dan aneka upacara keagamaan yang dapat dikelola menjadi medium kultural yang dapat menjadi sarana menyebarkan nilai-nilai kebangsaan berbasis toleransi, solidaritas kebangsaan, dan kesetaraan. Sekadar contoh, di Kelenteng Hok Tek Bio di Ciampea, Bogor, Jawa Barat, misalnya. Setiap tahun, kelenteng ini menyelenggarakan Festival Rebutan atau Sembahyang Cioko, yang sangat menggambarkan adanya perjumpaan dan dialog lintas golongan, suku, dan agama. Perjumpaan identitas ketionghoaan, kekristenan, kekatolikan, dan kebudhaan dengan identitas keislaman menyatukan umat beragama dalam bingkai kewargaan yang inklusif.

Dokumen Risalah Jakarta juga memberi perhatian khusus pada menguatnya pandangan keagamaan beberapa kelompok untuk memperjuangkan ideologi agama menggantikan ideologi negara. Hal ini terlihat misalnya dalam menguatnya formalisasi agama dalam kebijakan negara di sejumlah daerah, atau dalam kebijakan yang mengatur pelayanan publik dan kewargaan. (Hal 116)

Karena sangat menggambarkan esensi moderasi beragama, semangat dan ruh Risalah Jakarta ini kemudian disepakati untuk diterjemahkan ke dalam keseluruhan program Kementerian Agama di tahun 2019, yakni untuk menginternalisasi nilai-nilai esensial agama di satu sisi, serta menjaga kerukunan dan harmoni umat beragama di sisi lain. 

Tahun 2019 dapat dianggap sebagai puncak momentum penguatan moderasi beragama. Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama yang berlangsung pada 2325 Januari 2019 di Jakarta, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan pidato pengarahan yang berjudul “Moderasi untuk Kebersamaan Umat: Memaknai Rapat Kerja Nasional Kemenag 2019”. 

Dalam pidato tersebut, Menteri Agama mensosialisasikan tiga mantra kepada seluruh jajaran pimpinan pejabat Kementerian Agama untuk dipahami, disosialisasikan, diejawantahkan dalam program, dan tentu saja dilaksanakan. Ketiga mantra itu adalah: moderasi beragama, kebersamaan umat, dan integrasi data. Dalam penjabarannya, Menteri Agama meminta agar moderasi beragama menjadi ruh yang menjiwai keseluruhan program Kementerian Agama Tahun2019. Ia kemudian mendeklarasikan 2019 sebagai Tahun Moderasi Beragama. Ini sejalan dengan penetapan Perserikatan Bangsa-bangsa yang menjadikan 2019 sebagai “The International Year of Moderation”.

Menteri Agama menjelaskan bahwa salah satu outcome yang ingin diwujudkan oleh Kementerian Agama melalui visi moderasi beragama adalah kebersamaan dan pelayanan umat yang paripurna. Dan, di era digital yang kini melanda, hal itu nyaris tidak mungkin terealisasi tanpa melakukan integrasi data agama dan keagamaan yang dimiliki oleh Kementerian Agama. (Hal 117)

Sejak saat itu, sosialisasi moderasi beragama semakin gencar, berbagai workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan kegiatan lainnya dilakukan untuk mematangkan rumusan konseptual moderasi beragama. Buku Moderasi Beragama ini adalah salah satu produk yang dihasilkan, selain ada juga buku saku Tanya Jawab Moderasi Beragama. Puncaknya, seperti akan dibahas secara khusus di bawah, sosialisasi moderasi beragama sampai pada upaya penguatan dengan memasukannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. (Hal 118)



Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019


Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.

MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Moderasi Beragama untuk Nirkekerasan

Secara historis, visi moderasi (jalan tengah) dalam beragama bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Dari sisi kebijakan, misalnya, substansi visi moderasi beragama bisa dilihat dari terobosan-terobosan Kementerian Agama RI terkait kerukunan hidup umat beragama, seperti telah dikemukakan sebelumnya.  Bersandar pada gagasan 'Setuju dalam Ketidaksetujuan' misalnya, Kementerian Agama menerapkan kebijakan untuk mengajak umat beragama meyakini bahwa agama yang dipeluk, itulah yang paling baik. Kendati demikian, setiap umat beragama mengakui bahwa di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya memiliki dua sisi, perbedaan dan persamaan. Pengakuan ini akan mengantarkan pada sikap saling menghargai satu kelompok agama dengan kelompok agama lainnya. (Hal 85) Image: fofona2016 Selain itu, ada juga konsep Trilogi Kerukunan di Ke­menterian Agama, yang mengupayakan terciptanya tiga kerukunan, yakni: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukun

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga