Langsung ke konten utama

Moderasi Beragama untuk Nirkekerasan

Secara historis, visi moderasi (jalan tengah) dalam beragama bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Dari sisi kebijakan, misalnya, substansi visi moderasi beragama bisa dilihat dari terobosan-terobosan Kementerian Agama RI terkait kerukunan hidup umat beragama, seperti telah dikemukakan sebelumnya. 

Bersandar pada gagasan 'Setuju dalam Ketidaksetujuan' misalnya, Kementerian Agama menerapkan kebijakan untuk mengajak umat beragama meyakini bahwa agama yang dipeluk, itulah yang paling baik. Kendati demikian, setiap umat beragama mengakui bahwa di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya memiliki dua sisi, perbedaan dan persamaan. Pengakuan ini akan mengantarkan pada sikap saling menghargai satu kelompok agama dengan kelompok agama lainnya. (Hal 85)
Moderasi Beragama untuk Nirkekerasan
Image: fofona2016

Selain itu, ada juga konsep Trilogi Kerukunan di Ke­menterian Agama, yang mengupayakan terciptanya tiga kerukunan, yakni: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. Trilogi kerukunan yang digaungkan oleh Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara ini dimaksudkan untuk menciptakan sikap toleran, saling pengertian, saling menghargai dan menghormati antar dan intraumat beragama, sehingga terbina kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di bawah payung NKRI yang berasaskan Pancasila dan UUD ’45.

Ada juga konsep 'jalan tengah' (the middle path) di tahun 1990an, yang diterjemahkan dalam program-program terkait kerukunan umat beragama. Menteri Agama Tarmizi Taher, misalnya, mendirikan sebuah Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB) pada 1993. Lembaga ini berfungsi sebagai wadah untuk melakukan kajian pemikiran keagamaan yang melihat hubungan yang harmonis antarumat beragama dan diharapkan dapat memberikan sumbangsih pada pemerintah dari hasil kajian tersebut. LPKUB ini juga diharapkan menjadi barometer terkait kerukunan umat beragama dalam skala nasional, regional dan internasional. Tarmizi memiliki cara pandang bahwa keharmonisan umat beragama merupakan potret dari keyakinan agama ‘jalan tengah’ dengan mengacu pada semagat agama yang moderat. 

Rekam jejak kebijakan di atas menunjukkan bahwa keberagamaan jalan tengah yang berbasis pada spirit ajaran agama yang moderat, secara substantif sudah menjadi perhatian Kementerian Agama sejak lama, dan mendapat perhatian dari hampir semua Menteri Agama, hanya saja belum dirumuskan secara sistematis dan terstruktur sebagai sebuah visi utama, seperti moderasi beragama yang digaungkan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin sejak 2014. (hal 86)

Selain moderasi beragama, memang ada juga upaya gencar untuk menangkal radikalisme melalui pendekatan deradikalisasi. Namun, pendekatan ini saja memiliki kelemahan karena cenderung mengabaikan upaya internalisasi ajaran agama, yang sesungguhnya merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Seperti telah dikemukakan, moderasi beragama memiliki dua tujuan: pertama, internalisasi ajaran agama secara substantif, dan kedua, untuk ikut mengatasi problem kekerasan atas nama agama.

Sebagai panduan praksis, moderasi atau jalan tengah, jika disepakati sebagai bagian dari strategi nirkekerasan, bisa diadvokasi dan dikampanyekan dengan tiga cara (Panggabean & Ali-Fauzi dalam Abu Nimer, 2010), yakni:

Pertama, ‘jalan tengah’ keberagamaan bisa dikampanyekan dengan menggunakan mekanisme intra agama dengan melihat pada aspek internal agama itu sendiri melalui pengembangan etika dan spiritualitas baru yang lebih mendukung perdamaian secara nirkekerasan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menggunakan tafsir teks-teks agama yang menekankan pada sikap toleran dan inklusif yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Selain reinterpretasi teks agama, mekanisme internal-agama juga bisa dilakukan dengan menggunakan otoritas tokoh atau pemimpin agama untuk mengajak para pengikutnya agar mengedepankan perdamaian. (Hal 87)

Kedua, keberagamaan ‘jalan tengah’ juga dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme antaragama. Pada tahap ini, lebih menekankan pada tindakan. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, hal ini bisa dipraktikkan dengan cara membina perdamaian melalui dialog antar individu, kelompok dan komunitas antaragama dengan membangun pergaulan yang harmonis lewat kerja sama dalam kegiatan kemasyarakatan, berkunjung dalam perayaan hari-hari keagamaan, dan bergaul dengan tanpa ada beban perbedaan. Kerja sama antar-agama ini bisa dipraktikkan dalam asosiasi yang berdasarkan kepentingan bersama seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik dan budaya. Praktik yang baik dalam konteks Indonesia adalah adanya komunitas yang merangkul semua pemeluk agama, yakni Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang kini sudah berdiri di 34 Propinsi dan kabupaten. Forum ini merupakan modal penting untuk agenda-agenda kerukunan ke depan.

Ketiga, ‘jalan tengah’ keberagamaan juga bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekstra-agama. Pendekatan ini dalam praktiknya lebih menekankan pada mekanisme yang bersifat sistemik yang berskala internasional. Dalam konteks global dewasa ini, hal itu bisa dilakukan dengan membuat asosiasi transnasional yang diikat dengan satu misi bersama yakni perdamaian dunia. (Hal 88)

Berbagai pengalaman empirik Indonesia menunjukkan bahwa ekstremisme dan kekerasan atas nama agama tidak cukup diatasi dengan gerakan deradikalisasi, melainkan juga harus sinergi dengan gerakan moderasi, agar bandul dari sisi ekstrem kanan dapat ditarik ke tengah, bersama-sama dengan satu bandul ekstrem lainnya di sisi kiri.

Selama esktremitas beragama ada di salah satu sisi, dan moderasi beragama tidak hadir, maka intoleransi dan konflik keagamaan tetap akan menjadi ‘bara dalam sekam’, yang setiap saat bisa meledak, apalagi jika disulut dengan sumbu politik. (Hal 88)

Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019


Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.

MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderĂ¢tio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga