Langsung ke konten utama

Moderasi di Antara Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan

Sebagian tulisan tentang moderasi beragama seringkali hanya fokus menempatkan gerakan moderasi sebagai solusi untuk menangani masalah konservatisme beragama, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kanan. Ini menggambarkan pemahaman yang belum utuh tentang moderasi beragama, karena sesungguhnya moderasi beragama tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang ultra-konservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kiri.
Kebasen adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan Kebasen berjarak 23 Km berkendara dari ibukota Kabupaten Banyumas yaitu Purwokerto melalui Kecamatan Patikraja. Kecamatan Kebasen termasuk kecamatan yang ramai karena merupakan pertemuan jalan nasional lintas selatan dan tengah yang menghubungkan wilayah Jawa Barat dan Pantura .
Baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan, keduanya ibarat gerak sentrifugal dari sumbu tengah menuju salah satu sisi paling ekstrem. Mereka yang berhenti pada cara pandang, sikap, dan perilaku beragama secara liberal akan cenderung secara ekstrem mendewakan akalnya dalam menafsirkan ajaran agama, sehingga tercerabut dari teksnya, sementara mereka yang berhenti di sisi sebaliknya secara ekstrem akan secara rigid memahami teks agama tanpa mempertimbangkan konteks. Moderasi beragama bertujuan untuk menengahi kedua kutub ekstrem ini, dengan menekankan pentingnya internalisasi ajaran agama secara substantif di satu sisi, dan melakukan kontekstualisasi teks agama di sisi lain. (Hal 47)

Pandangan keagamaan sebagian sarjana Muslim yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah misalnya, adalah contoh tafsir liberal yang dapat dikategorikan sebagai ekstrem kiri. Meski tafsir ini juga didasarkan pada teks Alquran tentang milk al-yamin (hamba sahaya/budak), namun penerapannya dalam konteks sekarang dianggap oleh sebagian besar tokoh agama sudah terlalu jauh keluar dari maksud teks alias terlalu ekstrem karena secara kultural tradisi perbudakan sudah dihilangkan.

Sebaliknya, pandangan keagamaan yang hitam putih dalam memahami teks agama juga seringkali terjebak pada sisi ekstrem lain yang merasa benar sendiri. Dalam konteks beragama, pandangan, sikap, dan perilaku ekstrem seperti ini akan mendorong pemeluknya untuk menolak menerima pandangan orang lain, dan bersikukuh dengan tafsir kebenarannya sendiri. Dari sinilah muncul terma “garis keras”, ekstrem atau ekstremisme, yang dikaitkan dengan praktik beragama yang ultra konservatif.

Salah satu ciri awal konservatisme seseorang dalam beragama adalah bahwa ia memiliki pandangan, sikap, dan perilaku fanatik terhadap satu tafsir keagamaan saja, seraya menolak pandangan lain yang berbeda, meski ia mengetahui adanya pandangan tersebut. Lebih dari sekadar menolak, seorang yang ultra konservatif lebih jauh bahkan akan mengecam dan berusaha melenyapkan kehadiran pandangan orang lain yang berbeda tersebut. Baginya, cara pandang hitam putih dalam beragama itu lebih memberikan keyakinan ketimbang menerima keragaman tafsir yang dianggap menimbulkan kegamangan.(Hal 48)

Itu mengapa, meski jumlahnya minoritas, seorang ultra konservatif yang ekstrem umumnya lebih ‘nyaring’ dan lebih mampu menarik perhatian publik, ketimbang seorang moderat, yang cenderung diam dan reflektif. Kemenangan kaum ekstremis bukan karena jumlahnya yang besar, melainkan karena kaum moderat mayoritas yang diam (silent majority).

Secara konseptual, pandangan, sikap, dan praktik keagamaan yang ultra konservatif sering muncul dari cara pandang teosentris secara ekstrem dalam beragama, dan mengabaikan dimensi antroposentrismenya. Pandangan teosentris mendoktrin penganutnya untuk memaknai ibadah sebagai upaya “membahagiakan” Tuhan, melalui sejumlah ritual ibadah, dalam pengertiannya yang sempit. Imajinasi “demi membela Tuhan” yang tertanam dalam cara berfikirnya, membuat kelompok ini memaknai ibadah dan agama hanya dalam perspektif “memuaskan hasrat ketuhanan” sembari mengabaikan nilai dan fungsi agama bagi kemanusiaan (Masdar Hilmy, "Antroposentrisme Beragama", Kompas 4/7/2018).

Ada banyak alasan orang berkelompok menyebarkan ideologi ekstrem dan ‘keras’ dalam beragama. Sebagian mereka mengklaim bahwa perbuatannya adalah dalam rangka mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran, atau amar ma’ruf nahyi munkar; mereka juga mengaku sedang meluruskan paham, sikap, dan perilaku umat beragama yang menurutnya sesat; sebagian lagi menjadi bagian dari kelompok ekstrem sebagai perlawanan atas sebuah kepemimpinan negara yang dianggapnya zalim dan menyalahi ajaran agama (thogut), dan sebagian lagi karena merasa terancam oleh ekspansi orang lain (the others), termasuk merasa terancam oleh munculnya gerakan kelompok ekstrem liberal. (Hal 49)

Ekstremisme dan kekerasan tentu bukan bagian dari esensi ajaran agama mana pun. Itu mengapa bahwa ideologi ekstrem tidak akan pernah mampu mempengaruhi umat beragama dalam jumlah mayoritas, karena esensi agama sejatinya adalah untuk merawat harkat dan martabat kemanusiaan yang nilai-nilainya niscaya diterima oleh umat kebanyakan. Mereka yang mengampanyekan pandangan dan ideologi ekstrem dalam beragama biasanya berkelompok dalam jumlah kecil, menghindari debat atau diskusi rasional, serta lebih cenderung memilih gerakan dan aksi radikal. 

Hal yang membuat kelompok ekstrem radikal tampak lebih ‘besar’ dari sesungguhnya adalah semata karena suara dan pandangan keagamaannya ‘berisik’ di ruang publik, sering mencari perhatian dengan melakukan aksi di luar kebiasaan, yang tujuannya juga untuk meraih simpati. Suatu kali, dengan strateginya itu, kelompok ini mungkin berhasil membuat masyarakat takut dan resah, tapi pada akhirnya tidak pernah berhasil. Dakwah Nabi sendiri dilakukan dengan penuh kasih sayang. 

Untuk mencegah itu, konsolidasi kelompok beragama moderat harus ditumbuhkan; egoisme kelompok harus dihindari, demi kepentingan harmoni yang lebih besar, dan agar ekstremisme keagamaan tidak semakin berkembang. Dalam konteks tatanan sosio-politik Indonesia, selama hampir dua dekade, ekstremisme keagamaan menjadi perhatian semua pihak, tidak hanya di Indonesia melainkan sudah menjadi fenomena global. Aksi kekerasan atas nama agama yang terjadi di sejumlah negara telah menimbulkan ketegangan bagi semua kalangan yang pada kadar tertentu melahirkan gejala saling mencurigai kelompok agama tertentu sebagai sumber kekerasan. (Hal 50)

Fenomena ekstremisme juga menjadi pengalaman pahit bagi Indonesia. Sejumlah aksi terorisme bahkan telah merenggut ratusan nyawa tak berdosa. Ekstremisme keagamaan yang disertai kekerasan memberikan citra suram bagi pesan keagamaan yang damai bagi semesta. Hal ini juga sangat memprihatinkan jika dilihat dalam bingkai kebangsaan yang secara kodrati majemuk. 

Demikianlah, dengan memperhatikan dampak buruk dari ekstremisme, baik ekstrem kiri, maupun ekstrem kanan, maka visi moderasi beragama, yang pengertiannya secara konseptual telah dipaparkan di atas, menjadi sebuah kebutuhan. 

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, visi moderasi beragama juga niscaya sangat diperlukan, karena, sebagaimana telah dikemukakan, salah satu indikator moderasi beragama adalah adanya komitmen kebangsaan, tidak secara ekstrem memaksakan satu agama menjadi ideologi negara, tapi pada saat yang sama juga tidak mencerabut ruh dan nilai-nilai spiritual agama dari keseluruhan ideologi negara. (Hal 51)

Moderasi beragama, yang menekankan praktik beragama jalan tengah, dapat menjadi jalan keluar, baik untuk memperkuat upaya internalisasi nilai-nilai moral spiritual agama, maupun untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang nirkekerasan.

Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019
Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.
MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderĂ¢tio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga