Pelembagaan moderasi beragama artinya menerjemahkan moderasi beragama ke dalam institusi, lembaga, struktur, atau unit yang secara khusus memikirkan strategi implementasi konsep ini agar mengejawantah menjadi program dan kegiatan yang terukur dan berkesinambungan.
Implementasi moderasi beragama bisa dilakukan melalui beberapa hal, seperti melakukan internalisasi nilai-nilai esensial ajaran agama, memperkuat komitmen bernegara, meneguhkan toleransi, dan menolak segala jenis kekerasan atas nama agama, seperti yang telah dikemukakan dalam bagian indikator moderasi beragama.
Khusus yang terkait dengan internalisasi nilai-nilai esensial agama, ini adalah hal yang sangat penting diimplementasikan baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. (Hal 118)
Image; Wisataoky.com |
Kata kunci “esensial” perlu digarisbawahi karena moderasi beragama memberikan penekanan pada penguatan pemahaman keagamaan yang substantif, tidak harfiyah atau formalistik. Internalisasi nilai esensial agama juga menjadi ciri yang membedakan moderasi beragama dengan gerakan deradikalisasi yang cenderung hanya berusaha mengembalikan pemahaman keagamaan yang ultra konservatif, atau garis kanan, agar menjadi moderat, tanpa memberikan porsi yang cukup untuk melakukan internalisasi nilai-nilai agama.
Komitmen pada esensi ajaran agama sangat penting dalam konteks moderasi beragama. Keberpihakan pandangan, sikap, dan perilaku beragama yang moderat lebih menekankan pada esensi ajaran agama. Misalnya, salah satu esensi kehadiran ajaran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan. Jika ada pandangan, sikap, dan perilaku atas nama agama yang mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat kemanusiaan, maka itu sesungguhnya bertentangan dengan nilai moderasi beragama.
Esensi agama niscaya ada dalam setiap ritual ajaran agama. Meski bentuk formil ritual agama berbeda-beda, tetapi pesan esensialnya bisa saja sama. Pengetahuan atas esensi ajaran agama ini penting untuk dapat mencari titik temu setiap perbedaan. Rumus ini berlaku, baik dalam konteks hubungan antarumat beragama maupun intraumat beragama. Moderasi beragama dapat lebih mudah tercipta manakala setiap umat beragama memahami esensi ajaran agamanya. (Hal 119)
Seperti telah dikemukakan, komitmen bernegara juga merupakan indikator yang sangat penting untuk melihat sejauhmana kesetiaan seseorang pada konsensus dasar kebangsaan terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, dan sikapnya terhadap tantangan ideologi yang mengancam Pancasila. Sebagai bagian dari komitmen bernegara adalah penerimaan terhadap prinsipprinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi dan regulasi di bawahnya. Jika seseorang kehilangan komitmen pada kesepakatan-kesepakatan berbangsa, bisa diduga orang tersebut kehilangan watak moderatnya, karena telah keluar secara ekstrem dari kesepakatan bersama.
Sebagaimana dipahami, Pancasila sebagai dasar negara merupakan puncak kesepakatan yang bisa dimaknai sebagai perjanjian luhur para pendiri bangsa yang mempunyai berbagai latar belakang agama dan aliran pemikiran. Untuk memastikan perjanjian luhur kebangsaan tersebut tetap lestari, maka seluruh elemen bangsa harus menjaga sekuat tenaga. Sebagaimana ditunjukkan beberapa survei, belakangan ini semakin banyak kelompok masyarakat yang mempersoalkan ideologi Pancasila, bukan hanya di kalangan masyarakat umum, tapi juga di kalangan ASN dan pegawai BUMN, pelajar, mahasiswa dan sebagainya. Kelompokkelompok yang merusak ideologi Pancasila mendapatkan ruang sosial yang sangat luas untuk terus menerus memasarkan ideologinya, bahkan melakukan pembusukan melalui institusi dan fasilitas yang dimiliki negara.
Komitmen bernegara harus dilihat sebagai hasil sekaligus landasan moderasi beragama di Indonesia. Jika para pendiri bangsa Indonesia mengedepankan pada egoisme sektoralnya masing-masing, maka tidak akan ada kompromi ideologi. Kelompok Islam akan mati-matian mempertahankan ideologi islamisme yang hendak menjadikan Islam sebagai dasar negara, demikian juga kelompok “nasionalis sekuler” yang mati-matian menolak agama masuk ke dalam ranah negara. (Hal 120)
Komitmen bernegara ini akan menjadi landasan sekaligus menjadi daya tahan untuk melawan berbagai macam persoalan. Jika komitmen bernegara kuat, maka dia akan mampu menetralisir persoalan ideologi. Sebaliknya, jika komitmen bernegara lemah, maka berbagai macam virus ideologi akan dengan mudah menyerang dan melumpuhkan. Karena itu, komitmen bernegara dapat dilihat sebagai daya imunitas yang akan mempengaruhi kekuatan ideologi negara RI. Berbagai upaya untuk merawat ideologi negara merupakan kewajiban semesta seluruh warga negara dan organ-organ kenegaraan.
Salah satu bentuk upaya itu adalah dengan melekatkan syarat perspektif moderasi beragama dalam rekruitmen Apratur Sipil Negara (ASN), baik di lingkungan aparatur sipil maupun militer (TNI). Mengapa ASN? Karena mereka adalah orang-orang yang dibayar negara untuk memastikan amanat konstitusi terimplementasi. Mereka harus menjadi pengawal eksistensi negara. Jika para pengawal negara justru melemahkan sendi-sendi moderasi beragama, hal tersebut akan lebih mempercepat rapuhnya komitmen kebangsaan.
Sejumlah survei mengkonfirmasi banyaknya ASN yang masih mempersoalkan Pancasila, dan bersikap intoleran. Karena itu, pemerintah perlu membuat sistem rekruitmen aparatur sipil negara —termasuk TNI dan Polri— yang menyertakan wawasan moderasi beragama sebagai salah satu kriterianya. Selama ini rekruitmen ASN, penjenjangan karir, dan promosi jabatan, belum memberi tekanan yang kuat terkait persoalan ini, sehingga banyak ironi terjadi ketika ASN sendiri justru ikut merongrong ideologi negara. (Hal 121)
Implementasi pada peneguhan toleransi dapat diartikan sebagai kesiapan mental seseorang atau sekelompok orang untuk hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda, baik berbeda suku, ras, budaya, agama, bahkan berbeda orientasi seksualnya. Karena itu, toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini.
Kita sudah bicarakan soal toleransi pada bagian sebelumnya, dengan penekanan bahwa toleransi berarti bersikap terbuka, lapang dada, sukarela dan lembut dalam menerima perbedaan. Di sini perlu diberi penegasan bahwa toleransi tidak cukup hanya dengan membiarkan orang lain menikmati perbedaannya, meskipun sikap demikian sudah bisa dikatakan sebagai sikap toleran, tapi toleransi jenis seperti ini rentan jika suatu saat muncul persoalan dengan kelompok yang berbeda itu. Karena itu, toleransi harus diikuti dengan membuka diri untuk berdialog, saling belajar dan memahami sehingga terbangun kohesifitas sosial dari kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Lebih dari itu, jika toleransi terus dibangun, maka akan terbangun sikap bahwa orang atau kelompok yang berbeda tersebut juga merupakan bagian dari diri yang keberadaaanya harus dilindungi. Karena itu, jika ada kelompok yang tersakiti pada dasarnya juga menyakiti diri kita. (Hal 122)
Bangsa Indonesia mempunyai modal sosial yang kuat untuk menjadi bangsa yang toleran. Bahkan, karakter inilah yang menjadi modal penting Indonesia dalam diplomasi internasional. Meski masyarakat Indonesia mempunyai keragaman yang sangat tinggi, baik dari sisi agama, budaya maupun aspek sosial lainnya, namun masyarakat Indonesia bisa hidup harmonis. Hal ini dibentuk melalui proses sosial yang sangat panjang. Moderat dan toleran bukanlah karakter yang tiba-tiba muncul, tapi dikonstruksi melalui proses sejarah yang panjang.
Meski Indonesia dikenal sebagai bangsa yang toleran, namun hal ini bisa rusak jika bibit-bibit intoleransi dibiarkan berkembang merusak. Aneka perbedaan yang dianggap biasa saja, bisa tiba-tiba dipersoalkan dan dijadikan sarana untuk mempersekusi pihak lain. Relasi mayoritas-minoritas yang timpang ikut mempengaruhi tumbuh berkembangnya intoleransi. Akibatnya, ruang toleransi sosial semakin menyempit. Hal inilah yang perlu diwaspadai dengan terus menerus mengembangkan cakrawala toleransi, menerima perbedaan apa adanya dengan terus membangun dialog untuk saling memahami antar kelompok yang berbeda.
Toleransi bisa terkait dengan banyak aspek, bukan hanya soal agama, tapi juga toleransi sosial dan politik. Bahkan, di tengah menguatnya politik identitas, persoalan toleransipolitik dan agama menjadi kian penting untuk menjadi agenda penguatan. Demikian juga dengan toleransi beragama, baik toleransi antaragama maupun toleransi aliran dan sektesekte yang berbeda dalam satu agama, penting mendapat perhatian. (Hal 123)
Implementasi moderasi beragama berikutnya dapat dilihat dari perspektif anti kekerasan, atau radikalisme, yang pada bagian sebelumnya telah dijelaskan sebagai paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrem, baik kekerasan fisik maupun verbal.
Implementasi moderasi beragama dapat dilihat dalam aspek-aspek yang saling terkait tersebut. Dalam hal ini, komitmen bernegara bisa diletakkan sebagaikekuatan daya tahan yang bisa menjadi menjadi penawar dari resiko intoleransi dan radikalisme atas nama agama. Jika seseorang mempunyai daya tahan kuat, maka dia akan cenderung mampu untuk menahan pengaruh intoleransi dan radikalisme. Sebaliknya, orang yang komitmen bernegaranya rendah akan rentan dari pengaruh intoleransi dan radikalisme. Di situlah pentingnya memperkuat komitmen bernegara dengan memperkuat konsensus kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Moderasi beragama harus memiliki misi untuk menyamakan persepsi umat beragama bahwa mengamalkan ajaran agama adalah bagian tak terpisahkan dari komitmen menjaga Indonesia, seperti halnya menunaikan kewajiban sebagai warga negara adalah wujud dari pengamalan ajaran agama.
Upaya ini tidak mudah, karena terlebih dahulu perlu ada kesepakatan dan penerimaan bersama atas ide moderasi beragama, khususnya dari otoritas negara, dan kemudian masyarakat. Itu mengapa strategi penguatan yang pertama, yakni sosialisasi dan diseminasi konsep moderasi beragama, seperti dijelaskan di atas, menjadi sangat penting dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, agar semua pihak terkait dapat memahami urgensi dan signifikansinya. Langkah seribu selalu dimulai dengan langkah pertama. Jika persepsi dan frekuensinya sudah sama, maka kita bisa melangkah pada upaya berikutnya, yakni pelembagaan moderasi beragama, agar lebih terstruktur dan terencana. (Hal 124)
Memang tidak mudah juga mencari preseden pelembagaan moderasi beragama ini di negara lain, meski bukan tidak ada sama sekali. Pemerintah Kuwait misalnya, pernah membentuk The International Centre for Moderation (al-Markaz al-‘Alami lil Wasathiyah), sebuah lembaga think tank yang dibentuk di bawah supervisi Kementerian Wakaf dan Urusan Islam (Ministry of Awqaf and Islamic Affairs), Kuwait. Lembaga ini tidak hanya menyelenggarakan riset dan aktivitas akademik, melainkan juga advokasi, pelatihan, dan pengembangan jejaring moderasi.
Selain berupa pengarusutamaan wacana, pelembagaan moderasi beragama di Kementerian Agama juga dilakukan dengan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Moderasi Beragama di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis). Pokja Moderasi Beragama ini ditugaskan untuk mengawal implementasi visi moderasi beragama dalam program dan kegiatan Kementerian Agama, khususnya yang berada di bawah naungan Direktorat Pendis.
Pada Juni 2019, Lukman Hakim Saifuddin, sebagai Menteri Agama, kembali menyampaikan arahan pelembagaan moderasi beragama, kali ini dalam konteks pendidikan tinggi Islam. Lukman menyampaikan hal tersebut dalam kesempatan melantik Komaruddin Hidayat, sebagai Rektor pertama Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). (Hal 125)
Dalam pidato pelantikan tersebut, Lukman mengingatkan bahwa pendirian UIII yang menjadi Program Strategis Nasional (PSN) masa Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019), ini pada hakikatnya adalah wujud pengejawantahan 3 (tiga) hal yang saling berkaitan, yaitu: keindonesiaan, keislaman dan kemanusiaan. Karenanya Lukman berharap agar UIII mampu berfungsi sebagai “Rumah Moderasi” dalam konteks Islam, yakni tempat menghimpun, mengkaji, dan mendiseminasikan nilai nilai Islam rahmatan lil ‘alamin. Lebih dari itu, UIII, yang pembangunannya mendapat status Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2016, memang diharapkan dapat menjadi pusat kajian peradaban Islam yang moderat di Indonesia, sehingga dapat menjadi inspirasi bagi dunia.
Lukman berpandangan bahwa “Rumah Moderasi” di UIII ini pada gilirannya dapat memperkuat visi dan implementasi “Moderasi Beragama” yang selama ini terus diupayakan penguatannya, termasuk mengupayakan agar terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Ini memang proses panjang yang perlu diikuti dengan penuh kesabaran. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, RPJMN 2020-2024 sendiri merupakan fase akhir dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah lama direncanakan. Pelaksanaan RPJP Nasional 2005-2025 memang terbagi ke dalam tahap tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi RPJMN. (Hal 126)
Integrasi moderasi beragama dalam RPJMN sangat penting karena dokumen ini berfungsi untuk menjadi pedoman kementerian atau lembaga dalam menyusun rencana strategis, bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah, menjadi pedoman pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan menjadi acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi RPJM Nasional. Selain itu, RPJMN juga dapat menjadi acuan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan nasional.
Dalam konteks tata kelola kementerian, kita juga harus memahami bahwa pelembagaan moderasi beragama berarti juga perlu menyusun regulasi sebagai payung hukumnya, antara lain melalui Peraturan Menteri Agama tentang moderasi beragama. Merujuk Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Menteri pada Kementerian Agama, maka Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang moderasi beragama tersebut perlu disiapkan. Merujuk pada pasal 5 PMA Nomor 40 2016 tersebut, peraturan tentang penguatan moderasi beragama dapat dibuat dengan alasan salah satunya bahwa hal ini merupakan kebutuhan sesuai kewenangan Menteri Agama. Selanjutnya tahapan yang harus dilalui adalah perencanaan, penyusunan, penetapan dan pengundangan (pasal 3).
Untuk memudahkan pembacaan kerangka kerja (framework) pelembagaan penguatan moderasi beragama ini, maka perlu dibuat skema berupa bagan yang berisi tentang prinsip moderasi, program/kegiatan, strategi, target pencapaian, indikator, sektor yang terlibat dan waktu pelaksanaan. Skema ini akan memudahkan seluruh unit/satuan kerja di lingkungan Kementerian Agama dalam “mengoperasionalisasikan” kebijakan penguatan moderasi beragama hingga di tingkat akar rumput. (Hal 127)
Akhirnya, masyarakat beragama harus menjadi target benefit (manfaat) atas terbitnya kebijakan penguatan moderasi beragama, yakni pengakuan atas keragaman, dan pemenuhan layanan sebagai warga Negara. Kebijakan tersebut harus menghilangkan praktik diksriminasi atas nama apa pun, apalagi atas nama agama. (Hal 128)
Referensi:
Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA. Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.
MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama
Komentar
Posting Komentar