Langsung ke konten utama

Moderasi Beragama untuk Penguatan Toleransi Aktif

Moderasi beragama tidak dapat dipisahkan dari terma toleransi, atau toleran. Dari berbagai pembahasan terdahulu dapat dikemukakan bahwa moderasi beragama adalah proses, dan toleransi adalah hasil atau buah (outcome) jika moderasi diterapkan.

Kata toleransi bisa diartikan kelapangan dada, dalam pengertian suka kepada siapa pun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berfikir dan berkeyakinan lain. Toleransi dalam konteks ini dapat dirumuskan sebagai satu sikap keterbukaan untuk mendengar pandangan yang berbeda, toleransi berfungsi secara dua arah yakni mengemukakan pandangan dan menerima pandangan dalam batas-batas tertentu namun tidak merusak keyakinan agama masing-masing. Hakikat toleransi terhadap agama-agama lain merupakan satu prasyarat yang utama bagi terwujudnya kerukunan nasional. Sementara itu kerukunan nasional merupakan pilar bagi terwujudnya pembangunan nasional. Melalui sikap toleran dan saling menghargai secara substantif antar pemeluk agama, maka akan terwujud interaksi dan kesepahaman yang baik di kalangan masyarakat beragama sehingga bisa terwujud tata kehidupan yang aman, tenteram dan rukun. (Hal 79)

Dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB yang diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (2019), toleransi merupakan salah satu indikator paling signifikan untuk menciptakan kerukunan umat beragama, yaitu sebuah kondisi kehidupan umat beragama yang berinteraksi secara harmonis, toleran, damai, saling menghargai, dan menghormati perbedaan agama dan kebebasan menjalankan ibadat masing-masing.

Indonesia pernah mengalami berbagai konflik kekerasan sosial keagamaan, konflik-konflik tersebut berakibat pada kerugian yang tak ternilai, baik harta benda maupun jiwa. Banyak rumah ibadah, rumah-rumah, bahkan fasilitas sosial dirusak, dibakar atau dihancurkan, hingga korban jiwa yang tidak sedikit. Peristiwa kekerasan tersebut sering terjadi dan banyak diberitakan media, baik media cetak maupun elektronik. Para pelaku yang terlibat dalam peristiwa­ -peristiwa tersebut nampaknya belum menyadari bahwa kebinekaan atau keragaman itu adalah anugrah Tuhan yang harus disyukuri sehingga perlu dikelola secara baik. (Hal 80)

Peristiwa-peristiwa konflik kekerasan tersebut sejatinya tidak menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, karena secara historis bangsa Indonesia yang majemuk ini selama berabad-abad telah mempraktikkan prinsip hidup bersama yang harmonis. Sejak wilayah nusantara ini belum dapat disebut sebagai negara secara politik, bangsa Indonesia telah memegang teguh semboyan “bhinneka tunggal ika” yang berarti beragam tapi satu. 

Kebinekaan hanya bisa bertahan lama manakala kita dapat mengembangkan kultur toleransi yang sejati, bukan toleransi karena terpaksa atau toleransi yang dibungkus kepura-puraan. Toleransi sejati yang dimaksud di sini adalah toleransi yang tidak pasif dengan sekadar menghargai dan menghormati pemeluk keyakinan yang berbeda, namun juga aktif melakukan komunikasi, membangun kebersamaan dan kerjasama dalam kehidupan sosial budaya. Bangsa Indonesia harus mampu memelihara kebhinekaan melalui sikap toleransi aktif tersebut. Tanpanya, bangsa dengan banyak ragam keyakinan dan ratusan jenis suku atau etnis ini dapat hancur karena pertikaian. 

Upaya peningkatan kerukunan antarumat beragama dan toleransi sudah lama dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama. Pada era tahun 1970an misalnya, dikenal adanya konsep agree in disagreement, setuju dalam ketidaksetujuan, yang kemudian diterjemahkan ke dalam Proyek Kerukunan Hidup antarumat Beragama. Proyek ini berisi sejumlah kegiatan yang bersifat membangun dialog antar iman. Konsep, yang awalnya digagas oleh Menteri Agama A. Mukti Ali, tersebut mengajak umat beragama untuk lebih menyadari bahwa umat dalam kehidupan bangsa ini tidak hanya satu, melainkan banyak dan berbeda-beda. Pemerintah melihat kerukunan merupakan faktor penting bagi integrasi nasional dan terwujudnya stabilitas dalam menunjang pembangunan. Kerukunan nasional merupakan modal utama bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita pembangunan. (Hal 81)

Dilema agama-agama yang paling serius adalah tatkala berhubungan dengan kalangan di luar komunitasnya. Hampir semua agama memandang pihak lain lebih rendah, bahkan cenderung mendiskreditkan ketika berbicara komunitas di luar dirinya. Hal ini tidak lepas dari keyakinan setiap pemeluk agama bahwa kebenaran atau keselamatan hanya ada pada agama yang dianutnya (truth claim). Padahal perbedaan paham keagamaan bahkan perbedaan agama, merupakan bagian tidak terpisah dari realitas kehidupan. Perbedaan bisa menjadi potensi, namun bisa juga menjadi persoalan. Menjadi potensi jika dipahami secara baik dan dikelola secara konstruktif untuk semakin memperkaya makna hidup, dan menjadi persoalan jika disikapi secara eksklusif dan intoleran. 

Sikap keberagamaan yang eksklusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak, dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama. Konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya dipicu adanya sikap keberagamaan yang eksklusif, serta adanya kontestasi antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi sikap toleran. Wajah agama yang sejatinya damai, sejuk, dan oase harapan kebahagiaan menjadi penuh perselisihan, permusuhan, bahkan pembantaian. (Hal 82)

Dari uraian tersebut, upaya membangun kerukunan bukan hal yang sederhana, dibutuhkan kebijakan, strategi, dan beragam pendekatan baik yang bersifat sosiologis maupun teologis. Upaya membangun kerukunan dalam masyarakat membutuhkan modal sosial. Banyak ahli telah menjelaskan modal sosial yang dapat membantu masyarakat dalam menciptakan situasi damai. 

Sebagian menyebut bahwa semakin kuat jaringan kewargaan dalam sebuah masyarakat, semakin kecil kemungkinan terjadinya kekerasan komunal antar warga. Jaringan keterlibatan warga yang mampu menumbuhkan sikap saling percaya antar sesama warga ini adalah modal sosial yang berharga. Semakin kuat jaringan kewargaan dalam masyarakat, semakin besar kemungkinan bagi warganya untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama, termasuk koordinasi dalam meredam potensi konflik. 

Jaringan kewargaan tersebut mencakup jaringan kewargaan formal maupun informal. Jaringan kewargaan formal bisa dalam bentuk asosiasi, sedangkan keterlibatan warga yang bersifat informal seperti makan malam bersama, saling mengunjungi, pertemuan di warung, di jalan, dan lain-lain. Semakin banyak jaringan kewargaan dalam sebuah masyarakat, maka semakin ia berpotensi menjadi modal sosial yang dapat membantu masyarakat dalam menciptakan situasi damai. 

Selain itu, jaringan kewargaan antar komunitas berupa partisipasi warga dalam kegiatan bersama dapat mencegah potensi konflik. Komunikasi kewargaan yang bersifat informal dan sehari-hari mungkin cukup kuat menjaga kohesi sosial di pedesaan tetapi tidak memadai di kota-kota besar. Ikatan kewargaan yang bersifat formal asosiasional sangat diperlukan untuk menciptakan perdamaian antaretnis di perkotaan. (Hal 83)

Suprapto (2013: 19) yang mengkaji hubungan Hindu dan Muslim di Indonesia terutama di Lombok yang berlangsung dalam suasana harmonis menyimpulkan bahwa proses harmoni dan integrasi sosial akan terbentuk jika terdapat tiga hal yaitu: Pertama, pemahaman agama yang inklusif; Kedua, ketaatan pada hukum; Ketiga, memaafkan masa lalu, trust, dan ikatan antarwarga. Suprapto juga menambahkan bahwa konflik komunal yang terjadi adalah disebabkan karena mulai pudarnya kearifan lokal dan minimnya ruang publik, dua hal yang melemahkan ikatan warga. Melemahnya ikatan warga yang berkelindan dengan dengan faktor lain seperti sejarah, politik, ekonomi, dan budaya, menyebabkan berbagai pertentangan antarwarga mudah bergeser dari ketegangan personal ke konflik komunal, dan menjurus pada konflik etnis dan agama.

Demikianlah, toleransi aktif dari para pemeluk agama sangat dibutuhkan dalam mewujudkan harmoni sosial. Upaya membangun kerukunan antar pemeluk agama tidak bisa hanya dengan memandang perbedaan sebagai fakta sosial yang fragmentatif, namun juga perlu adanya keterlibattan aktif, yaitu bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan melamlui interaksi sosial yang intens, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan sesuai yang dicita-citakan.

Sejarah panjang bangsa Indonesia menunjukkan bahwa banyak agama-agama yang kemudian masuk ke Indonesia dan diterima oleh masyarakat, yang saat itu juga sebagian besar sudah memiliki agama. Dalam rentang sejarah yang panjang mereka saling berinteraksi, proses interaksi tersebut berlangsung nyaris tanpa gejolak yang berarti. Hal ini disebabkan karena adanya sikap toleransi aktif masing masing pemeluk agama, sehingga dapat hidup saling menerima dan hidup bersama berdampingan. Hal demikian tidak terlepas dari adanya sikap moderat yang dipegang teguh masingmasing pemeluk agama. Kelompok moderat memandang umat agama lain sebagai makhluk Tuhan yang juga harus dilindungi dan dihormati. Dalam pandangan kelompok moderat keragaman adalah sunnatullah, sehingga sikap toleran dan menghargai pluralitaslah yang selalu dikedepankan sehingga terwujud harmoni sosial. (Hal 84)

Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019


Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.

MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderĂ¢tio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga

Moderasi di Antara Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan

Sebagian tulisan tentang moderasi beragama seringkali hanya fokus menempatkan gerakan moderasi sebagai solusi untuk menangani masalah konservatisme beragama, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kanan. Ini menggambarkan pemahaman yang belum utuh tentang moderasi beragama, karena sesungguhnya moderasi beragama tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang ultra-konservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kiri. Kebasen adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan Kebasen berjarak 23 Km berkendara dari ibukota Kabupaten Banyumas yaitu Purwokerto melalui Kecamatan Patikraja. Kecamatan Kebasen termasuk kecamatan yang ramai karena merupakan pertemuan jalan nasional lintas selatan dan tengah yang menghubungkan wilayah Jawa Barat dan Pantura . Baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan, kedua