Langsung ke konten utama

Moderasi Beragama di Kementerian Agama

Sejarah berdirinya Kementerian Agama, dulu bernama Departemen Agama, terkait dengan kebijakan Jepang pada masa pendudukan. Selama penjajahan tiga setengah tahun (1942–1945) Jepang memperkenalkan Kantor Urusan Agama (Shumubu), sekaligus juga Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan karenanya memberi kesempatan kepada kaum Muslim untuk mewujudkan pelembagaan pertama bagi aspirasi mereka. Kementerian Agama yang berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 adalah sebagai hasil desakan partai-partai politik Muslim.

Dalam praktiknya, Kementerian Agama memberikan batasan tentang jaminan kebebasan beragama dengan membuat defenisi agama. Dari sudut pandang ini, Indonesia memberi pelajaran berharga dalam soal kebebasan beragama bahwa definisi mengenai apa yang bisa disebut “agama” berbeda-beda dalam berbagai tradisi keimanan dan pandangan etis. (Hal 107)
Moderasi Beragama di Kementerian Agama
Image: high_adventure_tours_pvt_ltd

Pada tahun 1952, Kementerian Agama mendirikan badan khusus untuk melawan gerakan-gerakan keagamaan baru, apa yang dikenal sebagai aliran kepercayaan. Karena aliran kepercayaan ini bukan “agama” sama sekali, sehingga dibentuk badan yang dikenal sebagai PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Sampai sekarang Badan ini masih bekerja sebagai biro khusus negara untuk mengawasi dan menekan kelompok-kelompok keagamaan yang dinilai menyimpang dari ajaran resmi agama.

Pada masa Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, pemerintah Indonesia membentuk suatu forum komunikasi antarumat beragama pada tanggal 30 Juni 1980 yang diberi nama: Wadah Musyawarah Antarumat Beragama (WMAUB). Forum ini melakukan serangkaian kegiatan seperti: dialog, diskusi, seminar, diskusi, baik di tingkat internasional, nasional, regional dan daerah sampai tingkat kecamatan.

Selain itu, di beberapa daerah dibentuk forum komunikasi antarumat beragama umat dari berbagai latar belakang agama yang berbeda-beda. Misalnya, di Sumatera Utara dikenal dengan Badan Kerjasama Antarumat Beragama (BKSAUA Sumatera Utara). Badan ini dibentuk pada tahun 1969 dan sampai sekarang masih berfungsi dengan baik. Badan yang mendapat biaya rutin dari Pemerintah Daerah setempat ini dibentuk dari tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Masih di Sumatera Utara, ada juga yang disebut Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama (FKPA). FKPA dibentuk sampai tingkat kecamatan dan didukung dana dari APBD. Sedangkan di Sumatera Selatan ada Forum Komunikasi Umat Sumatera Selatan atau FOKUSS (Sila, 2017: 122). (Hal 108)

Sementara tiga buah lembaga pengkajian tentang kerukunan umat beragama dibentuk di tiga kota, yaitu Yogyakarta, Medan dan Ambon. Lembaga ini bernama Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB). Intinya, sepanjang pemerintahan Orde Baru, beberapa kebijakan dihasilkan yang bertujuan untuk membangun kerukunan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang plural. Semuanya bertujuan untuk mewujudkan konsep Trilogi Kerukunan yang dikemukakan oleh Alamsjah Ratu Perwiranegara seperti dijelaskan sebelumnya.

Jelas bahwa dari waktu ke waktu Kementerian Agama berupaya mengajak umat beragama untuk lebih menyadari bahwa umat dalam kehidupan bangsa ini tidak hanya satu, melainkan banyak dan berbeda-beda. Selain itu, pemerintah aktif memfasilitasi adanya peraturan perundang-undangan yang mendorong terciptanya kerukunan umar beragama dan mensosialisasikannya.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan antara lain yaitu: Pertama, dalam rangka mengatur tata cara penyiaran agama, Pemerintah menerbitkan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, tertanggal 2 Januari 1979; Kedua, untuk memberikan perlindungan terhadap agama, sejak lama telah dikeluarkan Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pen­cegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta KUHP Pasal 156a yang menetapkan hukuman pidana atas penistaan agama; Ketiga, menjawab banyaknya konflik pendirian rumah ibadah, pemerintah telah menerbitkan PBM No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Tugas Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB dan Pendirian Rumah Ibadat. (Hal 109)

Munculnya berbagai kebijakan keagamaan tersebut, harus diakui, tidak sepenuhnya meningkatkan sikap moderat dalam beragama dan menghindarkan konflik. Namun, jika regulasi keagamaan tersebut dihilangkan, maka konflik-konflik keagamaan akan lebih banyak terjadi. Lahirnya sebuah kebijakan, memang bukanlah variabel tunggal atau obat mujarab yang bisa mencegah terjadinya konflik keagamaan. Tapi dibutuhkan banyak elemen lainnya untuk menopang pengelolaan kemajemukan agama dan menghindarkan gesekan antar kelompok masyarakat Indonesia yang beragam secara kultural dan agama.

Pada masa kepemimpinan Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama, upaya penguatan moderasi beragama dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, setidaknya melalui 3 (tiga) strategi, yakni: a) sosialisasi dan diseminasi gagasan moderasi beragama; b) pelembagaan moderasi beragama ke dalam program dan kebijakan yang mengikat; dan c) pengintegrasian perspektif moderasi beragama ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. (Hal 110)



Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019


Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.

MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Moderasi Beragama untuk Nirkekerasan

Secara historis, visi moderasi (jalan tengah) dalam beragama bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Dari sisi kebijakan, misalnya, substansi visi moderasi beragama bisa dilihat dari terobosan-terobosan Kementerian Agama RI terkait kerukunan hidup umat beragama, seperti telah dikemukakan sebelumnya.  Bersandar pada gagasan 'Setuju dalam Ketidaksetujuan' misalnya, Kementerian Agama menerapkan kebijakan untuk mengajak umat beragama meyakini bahwa agama yang dipeluk, itulah yang paling baik. Kendati demikian, setiap umat beragama mengakui bahwa di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya memiliki dua sisi, perbedaan dan persamaan. Pengakuan ini akan mengantarkan pada sikap saling menghargai satu kelompok agama dengan kelompok agama lainnya. (Hal 85) Image: fofona2016 Selain itu, ada juga konsep Trilogi Kerukunan di Ke­menterian Agama, yang mengupayakan terciptanya tiga kerukunan, yakni: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukun

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderĂ¢tio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga