Langsung ke konten utama

Moderasi Beragama di Era Disrupsi Digital

Kompleksitas kehidupan keagamaan saat ini menghadapi tantangan dan perubahan yang sangat ekstrem berbeda dengan masa-masa sebelumnya karena dunia sekarang tengah memasuki era disrupsi, sehingga dalam kehidupan keagamaan pun kita bisa menyebut adanya disrupsi beragama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata disrupsi didefinisikan sebagai “hal tercerabut dari akarnya”. Biasanya, disrupsi dikaitkan dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, yang kini memasuki revolusi industri digital 4.0. Era disrupsi mengakibatkan terjadinya perubahan radikal dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali bidang kehidupan keagamaan. Istilah disruptive technology ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, komputasi, otomasi, dan robotisasi. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan suatu perubahan radikal yang sangat cepat dan mengakibatkan efek domino yang luar biasa masif, ter­masuk dalam perilaku beragama. Internet juga mengubah pola perilaku beragama. (Hal 89)

Hasil survei nasional PPIM UIN Jakarta di tahun 2017 menunjukkan bahwa internet berpengaruh besar terhadap meningkatnya intoleransi pada generasi milenial atau generasi Z. Siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet lebih memiliki sikap moderat dibandingkan mereka yang memiliki akses internet. Padahal mereka yang memiliki akses internet sangat besar, yaitu sebanyak 84,94%, sisanya 15,06% siswa/mahasiswa tidak memiliki akses internet. Rupanya generasi milenial lebih mengandalkan dunia maya sebagai sumber belajar agama. Sebanyak 54,37% siswa dan mahasiswa belajar pengetahuan tentang agama dari internet, baik itu media sosial, blog, maupun website.
Moderasi Beragama di Era Disrupsi Digital
Image: t420tom.explores

Mengapa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi digital ini sedemikian berpengaruh terhadap perilaku sosial, termasuk perilaku beragama? Karena media digital ini bersifat membangun jejaring, tidak memihak, interaktif melibatkan peran aktif manusia, dan bahkan seringkali dapat dimanipulasi. Kemudahan akses internet yang tidak memiliki aturan baku ini layaknya pasar bebas, siapa saja dapat menuliskan informasi apa pun bahkan catatan pribadi pun bisa dipublikasikan dan menjadi komsumsi secara luas. Bahkan, keberlimpahan sumber informasi ini juga telah menjadi media belajar yang kian digemari oleh generasi Z. 

Perubahan preferensi sumber informasi keagamaan seperti ini tentu juga berdampak pada pemahaman konsep ‘saleh’ dalam beragama. Bagi generasi ‘konvensional’, saleh mungkin dilekatkan pada umat beragama yang rajin datang ke rumah ibadah, salat di masjid, atau sembahyang di gereja. (Hal 90)

Namun, kini simbol kesalehan itu bisa jadi telah berpindah dari rumah ibadah ke internet, dari masjid ke media sosial. Ini mengingatkan apa yang digambarkan oleh budayawan Kuntowijoyo sebagai Muslim Tanpa Masjid, di mana pada masa tertentu ada pergeseran makna umat yang sebelumnya melekat pada masjid sebagai rumah ibadah, kepada ikon institusi modern, seperti ormas, partai, unit usaha, dan lainnya. Dalam konteks era digital ini, “umat baru” itu wujud dalam media sosial, dengan karakteristik “kesalehan milenial” yang khas.

Masalahnya, meskipun konten di media sosial lebih mudah diakses dan disajikan dalam bentuk yang menarik, namun informasi benar dan salah kian campur aduk tak terkendali. Ini berdampak serius ketika menyangkut konten agama, apalagi hal ini juga didukung oleh perubahan sikap masyarakat yang serba instan. Budaya instan dan praktis yang tercipta dari revolusi digital ini membuat masyarakat cenderung lebih menyukai berita melalui sosial media dibanding media masa. 

Selain itu, revolusi digital juga mempengaruhi pola membaca masyarakat. Masyarakat cenderung menyukai judul berita yang bersifat provokatif dan heboh. Kebanyakan masyarakat langsung mempercayai isi konten yang terdapat pada berita tanpa melakukan verifikasi. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya berita hoaks (hoax) beredar di mana-mana.

Hoaks dapat didefinisikan sebagai kebohongan yang terencana untuk mengecoh dan menipu orang lain. Hoaks amat berbahaya jika sampai mencelakakan, apalagi jika hoaks itu menggunakan topeng agama, maka ia dapat menciptakan konflik dan peperangan penuh militansi, karena watak agama yang sangat menyentuh sisi emosional setiap manusia. Hoaks juga akan sangat destruktif jika disampaikan oleh orang yang mengaku pengkhotbah agama, karena niscaya kata-katanya didengar oleh umatnya. Ia dapat mereduksi nilai mulia agama. Menimbang dampak jahatnya, hoaks dapat dianggap lebih keji dari pembunuhan (Komaruddin Hidayat, “Hoaks dan Agama”, Kompas, 8/1/2019). (Hal 91)

Selain merebaknya kasus hoaks, wajah ganda internet juga memberi ruang penyebaran konten kebencian dengan mengatasnamakan agama. Bahkan konten-konten ini menyusup dalam konten yang bermuatan pendidikan agama. Di era boom media sosial seperti saat ini, banyak orang tergoda menjadikan berbagai informasi dan opini yang bersebaran di internet sebagai jalan pintas (shortcut) atas bahan referensi dan pengetahuan soal-soal keagamaan tanpa melakukan verifikasi. Banyak yang berniat baik untuk belajar Islam melalui internet dan media sosial lainnya, namun karena ceroboh atau tidak ada yang mengarahkan justru kemudian terjerumus dalam memilih serta menyeleksi konten yang seharusnya dihindari.

Demikianlah, perkembangan teknologi membuat tempat belajar berganti, terutama pada masyarakat yang sudah akrab dengan teknologi. Kalau dulu belajar agama pada kiai di pesantren, saat ini ada “kiai Google”. Umat digital menjadi terbiasa menemukan kebenaran tunggal, tanpa penjelasan dan pengayaan. Menghadapi umat digital dengan karakteristik seperti ini, perspektif moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dijadikan framing, apalagi masyarakat Indonesia sangat plural dan multikultural. (Hal 92)

Isu tentang dampak era disrupsi terhadap kehidupan beragama di Indonesia ini pernah menjadi salah satu kegelisahan dan perhatian utama para agamawan, budayawan, akademisi, dan para generasi milenial yang berdialog bersama pada akhir Desember 2018 di Ancol, Jakarta. Pertemuan itu menghasilkan Risalah Jakarta, yang menyepakati bahwa era disrupsi telah membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Ekses era disrupsi ini kemudian menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan penguatan identitas kelompok. Teknologi informasi dan komunikasi sebagai media disruptif menjadi pengubah permainan karena membawa budaya baru yang serba instan.

Forum Ancol itu kemudian mengusulkan satu strategi pengembangan program-program untuk menerjemahkan materi atau muatan yang substantif dari tokoh agama, budayawan dan akademisi, menjadi konten dan sajian yang lebih mudah dipahami generasi muda tanpa kehilangan bobot isinya.

Suka atau tidak suka, era disrupsi digital ini memang mendorong lahirnya kompleksitas masyarakat dalam beragama. Akibat dangkalnya sumber pengetahuan agama, ada yang terlalu tekstual dalam memahami ayat-ayat suci disertai fanatisme berlebihan sehingga mengarah pada ekslusivisme, ekstremisme, bahkan terorisme. Ada yang kebablasan menafsirkan isi kitab suci sampai tidak bisa membedakan antara ayat Tuhan dan yang bukan. Ada pula yang mempermainkan pesan-pesan Tuhan menjadi pesan pribadi yang sarat kepentingan. Semua persimpangan itu rentan menciptakan konflik yang dapat mengoyak keharmonisan kehidupan bersama. (Hal 93)

Pada posisi ini, moderasi beragama tak lagi sekadar wajib tapi sudah menjadi kebutuhan untuk diimplementasikan demi kehidupan beragama yang lebih baik.

Sayangnya, pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas pengetahuan agama, baik dari kalangan agamawan maupun akademisi, dalam era disrupsi ini dirasakan kurang hadir mengisi dahaga keberagamaan publik lewat ruang-ruang media sosial, padahal sejatinya mereka memiliki pengetahuan mendalam dan sangat mampu menghadirkan nilainilai luhur moral dan spiritual agama.

Di era ini, pengembangan literasi keagamaan yang mengandung muatan ajaran moderat sangat mendesak dilakukan untuk mengimbangi konservatisme berbasis media sosial. Mengapa? Karena saat ini faktor-faktor yang dapat menyumbang tumbuh suburnya pemahaman keagamaan yang sempit semakin kompleks, bukan saja muncul dari lingkungan keluarga, pertemanan, atau pelajaran di sekolah, melainkan juga yang tak terbendung adalah dari informasi yang tersedia di internet.

Karenanya, di era yang dikenal dengan era disrupsi atau perubahan ini, setiap orang perlu memikirkan kembali praktik beragama yang selama ini dianutnya. Kebiasaankebiasaan yang sudah menjadi habitus lama tertantang oleh adanya kebiasaan-kebiasaan baru sehingga kehilangan lagi relevansinya untuk era sekarang. (Hal 94)

Disrupsi adalah sebuah inovasi yang berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru, dan dianggap sebagai ancaman bagi pemain-pemain lama, atau incumbent. Perubahan ini terkadang menjadi suatu ke­khawatiran karena akan membunuh kebiasaan kebiasaan lama yang menjadi inti keyakinannya. Singkat kata, disrupsi, dari kata disruption, adalah sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan cara yang baru, dan menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat.

Di era disrupsi, kehadiran generasi milenial memiliki momentumnya. Dengan fasilitas internet dan sosial media (sosmed), generasi milenium cenderung tidak menganggap otoritas agama (kyai, ustadz dan guru agama) sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari mereka. Berbeda dengan generasi sebelumnya, kaum milenial sering fokus pada kebutuhan individu dan sangat kritis terhadap nilai-nilai dan keagamaan tradisional. Mereka telah diajarkan untuk mempertanyakan otoritas keagamaan ketika cita-cita moral dipertaruhkan. Akibatnya, mereka menjadi lebih mandiri dan berkonsultasi dengan berbagai sumber untuk bimbingan agama mereka. Seringkali kita menyaksikan penjelasan obyektif sebuah keyakinan keagamaan dikalahkan oleh pilihan-pilihan personal yang diperolehnya dari sumber-sumber yang tidak otoritatif. Kebenaran kemudian menjadi tidak tunggal, tapi beragam. (Hal 95)

Konten-konten keagamaan yang radikal dan ekstrem menjadi mudah mereka konsumsi tanpa ada konsultasi dengan otoritas-otoritas keagamaan tradisional yang ada. Akibatnya, pemikiran keagamaan sebagian kelompok millenial cenderung radikal dan ekstrem. Kondisi dimana sumber kebenaran tidak lagi tunggal, tapi beragam, bahkan dianggap tidak penting, disebut juga dengan pasca kebenaran atau post-truth, sebuah kondisi yang menggambarkan era kita saat ini, yakni ketika situasi fakta obyektif lebih sedikit pengaruhnya dibanding hal-hal yang mempengaruhi emosi dan kepercayaan personal dalam pembentukan opini publik. 

Pembentukan otoritas keagamaan dalam kelompok milenial ini dapat dibangun berdasarkan pada pembentukan otoritas keagamaan yang non-tradisional. Penerimaan umum tentang peran yang semakin penting dari pengalaman individu dalam pengalaman keagamaan ini menjadi cara baru dalam menciptakan otoritas agama. Otoritas agama baru ini telah menantang struktur otoritas agama yang konvensional. Dalam konteks agama, kebenaran terkait isu-isu keagamaan biasanya didasarkan atas ajaran yang diberikan oleh gurunya. Pembelajaran di masjid, surau, pesantren, dan tempat-tempat ibadah agama lainnya merupakan media untuk mencari ilmu agama. Masyarakat akan belajar di tempat-tempat tersebut untuk mencari sebuah pemahaman terkait keagamaan. Bahkan banyak di antaranya yang harus datang jauh-jauh hanya untuk sekadar belajar dengan seorang guru.

Kebutuhan masyarakat akan pemahaman agama yang baik dan benar juga dibutuhkan pada era disrupsi sekarang ini (atau dikenal juga dengan revolusi industri 4.0). Karena agama menempati posisi dan peran kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multi agama, pelaksanaannya dalam kehidupan publik harus taat pada dasar negara dan konstitusi. Akhir-akhir ini, kehidupan beragama di Indonesia menghadapi tantangan serius berupa semakin menguatnya sikap ekslusivisme dan ekstremisme beragama. Fenomena ini menggejala di berbagai ruang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Era disrupsi membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia. (Hal 96)

Lalu adakah keterkaitan era disrupsi terhadap tantangan keagamaan? Tentunya ada. Ekses dari era disrupsi telah menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan penguatan identitas kelompok. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi media pengubah permainan karena membawa budaya baru yang serba instan. Anak muda milenial tidak lagi belajar agama kepada para tokoh agama yang ahli di bidang kepakaran masingmasing, tapi malah belajar kepada internet, bertanya pada situs berbasis online/digital yang boleh jadi admin-nya tidak mempunyai otoritas keilmuan agama yang tepat, berselancar menelusuri tafsir-tafsir keagamaan melalui mesin pencari google. Kalau ini dibiarkan terus maka akan menjadi ancaman bagi otoritas keagamaan tradisional.

Dari latar kondisi ini, kita perlu mengembangkan strategi komunikasi kepada generasi milenial agar mereka terhindar dari kegagapan menghadapi era disrupsi dan membangun gerakan kebudayaan untuk memperkuat akal sehat kolektif. Diperlukan langkah-langkah menerjemahkan materi atau muatan yang fundamental dari tokoh agama, budayawan, dan akademisi, menjadi konten dan sajian yang lebih mudah dipahami oleh generasi muda milenial tanpa kehilangan bobot isinya. (Hal 97)

Kita perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memimpin gerakan literasi keagamaan (religius literacy) di kalangan milenial agar mereka melek agama yang semu­anya bertujuan dalam rangka penguatan keberagamaan yang moderat. Agama perlu dikembalikan kepada perannya sebagai panduan spiritualitas dan moral, bukan hanya pada aspek ritual dan formal, yang mudah diakses untuk semua kalangan. Jika tidak direspon, era disrupsi akan mengakibatkan efek domino merusak tatanan kehidupan keagamaan.

Respon terhadap efek domino era disrupsi di bidang agama inilah yang melatarbelakangi Kementerian Agama, melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), pada akhir Desember 2018 memfasilitasi dialog antariman para agamawan, budayawan, akademisi, generasi milenial, dan praktisi media, untuk berdialog bersama mencari solusi menjaga kebersamaan umat. Dialog itu kemudian menghasilkan suatu kesepakatan bersama yang dikenal dengan nama “Risalah Jakarta”, yang dijadikan sebagai ruh untuk merumuskan program-program Kementerian Agama di Tahun 2019. (98)

Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019


Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.

MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Moderasi Beragama untuk Nirkekerasan

Secara historis, visi moderasi (jalan tengah) dalam beragama bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Dari sisi kebijakan, misalnya, substansi visi moderasi beragama bisa dilihat dari terobosan-terobosan Kementerian Agama RI terkait kerukunan hidup umat beragama, seperti telah dikemukakan sebelumnya.  Bersandar pada gagasan 'Setuju dalam Ketidaksetujuan' misalnya, Kementerian Agama menerapkan kebijakan untuk mengajak umat beragama meyakini bahwa agama yang dipeluk, itulah yang paling baik. Kendati demikian, setiap umat beragama mengakui bahwa di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya memiliki dua sisi, perbedaan dan persamaan. Pengakuan ini akan mengantarkan pada sikap saling menghargai satu kelompok agama dengan kelompok agama lainnya. (Hal 85) Image: fofona2016 Selain itu, ada juga konsep Trilogi Kerukunan di Ke­menterian Agama, yang mengupayakan terciptanya tiga kerukunan, yakni: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukun

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderĂ¢tio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga