Langsung ke konten utama

Strategi Penguatan Dan Implementasi Moderasi Beragama

Pada bagian-bagian sebelumnya telah dikemukakan dengan cukup mendalam tentang apa (what) yang dimaksud dengan moderasi beragama, dan mengapa (why) moderasi beragama penting dalam konteks kehidupan keagamaan di Indonesia. Bagian terakhir ini akan mengupas tentang bagaimana (how) strategi penguatan, pelembagaan, dan implementasi moderasi beragama, baik dalam kehidupan individu, keluarga, maupun bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Sebagai unit terkecil masyarakat dan tempat pendidikan pertama dan utama setiap warga bangsa, keluarga memiliki potensi yang sangat besar untuk menanamkan dan menyemai praktik moderasi beragama. Praktik moderasi beragama dengan semua tradisinya tidak dapat diandaikan terjadi begitu saja secara alamiah, melainkan harus disemai sejak nilai-nilai setiap individu warga bangsa dibentuk. 

Sebagai pemegang mandat wewenang negara dalam hal keagamaan, sekaligus pengawal UU Perkawinan No 1/1974, Kementerian Agama wajib memperkuat praktik beragama yang moderat ini melalui stelsel keluarga. (Hal 99)
Strategi Penguatan Dan Implementasi Moderasi Beragama
Image: earthadventured

Konsep ‘’Keluarga Sakinah’’ Kementerian Agama menggambarkan bahwa keluarga sakinah adalah keluarga damai yang menenteramkan anggota keluarganya serta memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga sedemikian tentu saja dibangun di atas landasan nilai keadilan, kesalingan, dan keseimbangan. Ini adalah wujud yang selaras dengan prinsip-prinsip moderasi beragama. 

Nilai-nilai luhur ini dapat ditanamkan oleh Kementerian Agama melalui berbagai program pembinaan keluarga di semua lini, mulai dari penyuluhan dan bimbingan di tingkat Kantor Kementerian Agama sampai di tingkat layanan Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan. Kementerian Agama membuat kerangka pikir dan membangun kerangka kerja dari sumber-sumber agama yang sahih. 

Keyakinan bahwa tugas Kementerian Agama adalah mewujudkan kemaslahatan di bumi Indonesia, sebagai turunan dari mandat makhluk untuk mewujudkan kemaslahatan di bumi, salah satunya dijabarkan melalui khidmat layanan kepada keluarga Indonesia melalui pendidikan masyarakat. 

Kementerian Agama optimis dapat melaksanakan khidmat kemanusiaan ini karena pada dasarnya, insan-insan di kementerian ini telah memiliki modal awal yang sangat mahal berupa pemahaman yang sangat baik mengenai konsep-konsep kunci moderasi beragama seperti nilai keadilan, keberimbangan, toleransi, antikekerasan, dan penghormatan kepada kearifan tradisi lokal. Pemahaman inilah yang diperkuat menjadi muatan berharga pendidikan masyarakat. (Hal 100)

Dalam sebuah ujicoba modul penguatan perspektif moderasi beragama berbasis keluarga yang melibatkan insaninsan Kementerian Agama, diperoleh kerangka berpikir sebagaimana berikut.

Sebagai makhluk beragama, manusia yakin dia adalah hamba Tuhan yang menerima tugas sebagai pengelola bumi untuk mewujudkan kemaslahatan planet ini melalui kemaslahatan bangsa. Bagi Kementerian Agama, tugas ini dilakukan dengan pelayanan maksimal pada masyarakat agar lewat strategi pendidikan yang baik terbentuklah keluargakeluarga sakinah, yang berujung pada lahirnya manusiamanusia Indonesia beragama yang utuh, yang menjaga keseimbangan dalam beragama. 

Kementerian Agama akan terus berupaya menjadi ujung tombak dalam merawat dan memperkuat moderasi beragama melalui keluarga sehingga unit-unit terkecil masyarakat Indonesia ini menghasilkan warga bangsa yang cinta dan punya komitmen kuat meninggikan harkat bangsa mereka, bersikap dan berperilaku toleran kepada siapa pun dengan adil dan berimbang, mengedepankan sikap damai dan jauh dari kekerasan, serta aktif merawat tradisi dan adat asli Nusantara. 

Setiap agama mengajarkan penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta. Penghambaan kepada Tuhan ini diwujudkan dalam bentuk kesiapan mengikuti semua petunjuk-Nya. Manusia menjadi hamba hanya bagi Tuhan, tidak menghambakan diri pada yang lain, juga tidak diperhambakan oleh manusia lain. Di sinilah terlihat jelas esensi nilai keadilan antarmanusia sebagai sesama makhluk Tuhan. (Hal 101)

Sebagai makhluk yang diciptakan dengan keunggulan budi pikir, manusia juga menjadi hamba Tuhan yang diberi mandat untuk memimpin dan mengelola bumi. Dalam tradisi agama Katolik, misalnya, manusia disebut sebagai citra Tuhan di dunia. Ajaran Buddha menegaskan bahwa tugas manusia adalah berbuat baik, menyebarkan kebaikan, agar mereka mendapatkan kebaikan. Dalam ajaran Islam, manusia ditugaskan menjadi khalifah fil ardl atau wakil Tuhan di muka bumi. Ini berarti bumi perlu dikelola agar tercipta kemaslahatan bersama. Inilah salah satu visi kehidupan terpenting dan terkuat yang diajarkan agama. 

Karena keterbatasan manusia, bangsa dan negara kemudian menjadi konteks ruang lingkup tugas ini: bagaimana manusia mengelola penggalan bumi di mana ia tinggal, agar tercapai kemaslahatan bersama, kemaslahatan bangsa dan negara yang adil makmur sentosa. Paradigma berpikir ini dapat ditemukan di setiap agama dalam bentuk keyakinan bahwa mencintai negeri adalah sebagian dari keimanan. 

Tokoh-tokoh agama pendahulu kita umumnya mengajarkan bahwa nasionalisme dan agama bagaikan sepasang sayap yang saling menguatkan. Keseimbangan antara keagamaan dan kebangsaan justru menjadi modal besar bagi kemaslahatan bangsa. (Hal 102)

Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan praktik yang paling sesuai untuk dipraktikkan agar terwujud kemaslahatan bumi Indonesia. Sikap mental moderat, adil, dan berimbang menjadi kunci untuk mengelola keragaman bangsa Indonesia. Dalam berkhidmat membangun bangsa dan negara, setiap warga Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk mengembangkan kehidupan bersama yang tenteram dan menentramkan. Bila ini dapat diwujudkan, setiap warga negara niscaya dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya sekaligus menjadi manusia yang menjalankan agama seutuhnya. 

Adapun terkait dengan implementasi dalam level negara, dalam diskusi-diskusi awal, nomenklatur yang digunakan sesungguhnya adalah “pengarusutamaan” (mainstreaming) moderasi beragama. Setelah melalui beberapa pertimbangan, kata ini diganti dengan “penguatan”, tanpa berarti menghilangkan sama sekali substansi proses yang dilakukannya. Pengarusutamaan sendiri dipahami sebagai sebuah upaya menjadikan sesuatu (gagasan) yang awalnya berada di pinggiran, hanya diketahui oleh kalangan terbatas, dan kurang dianggap penting, menjadi milik bersama, diketahui umum, diperlakukan setara, serta menjadi pusat perhatian.

Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) dapat dijadikan sebagai contoh dan analogi. Pengarusutamaan gender didefinisikan sebagai strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat dan negara), melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pe­mantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. (Hal 103)

Meminjam logika yang sama, maka pengarusutamaan moderasi beragama adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk menjadikan cara pandang sikap, dan perilaku beragama yang moderat sebagai perspektif dan landasan berfikir yang diterima bersama dalam membangun sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Penggunaan diksi “pengarusutamaan” bukan untuk menunjukkan bahwa selama ini gagasan dan praktik moderasi dalam beragama belum dikenal luas, atau belum dipraktikkan oleh kebanyakan umat beragama. Nomenklatur moderat, atau wasathiyah dalam konteks Islam, memang sudah lama menjadi wacana publik, hanya saja sifatnya masih individual dan belum pernah menjadi bagian dari arah kebijakan makro pembangunan sumber daya manusia (SDM) Pemerintah Indonesia. Jadi, dalam konteks moderasi beragama, pengarusutamaan ini kemudian dimaksudkan sebagai upaya penguatan agar cara pandang, sikap, dan perilaku moderat dalam beragama menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan negara.

Dalam proyeksi negara ke depan, pembangunan SDM ini sangat krusial. Negara boleh melahirkan para teknokrat, saintis, dan profesional yang ahli di bidangnya. Beasiswa juga dikucurkan buat mereka. Tetapi kontribusinya akan tidak berarti jika mereka memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku keagamaan yang ekstrem dan eksklusif, karena hal itu justru dapat memberikan dampak destruktif bagi negara. (Hal 104)

Sekadar gambaran, berdasarkan data Kementerian Keuangan per 31 Januari 2019, jumlah penerima program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mencapai 20.255 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 9.882 orang masih belajar dan 7.108 orang sudah lulus. Mereka adalah orang-orang pintar yang pendidikannya dibiayai negara dari pajak yang dibayar oleh warga Indonesia tanpa memandang suku maupun agama. Andaikata mereka berbuat destruktif bagi negeri lantaran berpaham keagamaan yang eksklusif, tentu akan jadi ironi. 

Dengan demikian, penguatan moderasi beragama ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan indeks pembangunan manusia Indonesia dengan value yang khas. Agama, dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sudah seharusnya menjadi salah satu variabel utama dalam membangun karakter moderat bangsa. Agama harus dapat menjadi landasan spiritual, moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena memang Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama.

Penguatan visi moderasi beragama dapat menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk memimpin dan memberikan inspirasi kepada masyarakat beragama global bahwa mengamalkan ajaran agama adalah sama dengan menjalankan kewajiban negara, sebagaimana menunaikan kewajiban negara adalah wujud pengamalan ajaran agama. Jika tercapai, ini akan menjadi sumbangsih signifikan Indonesia terhadap perdamaian dunia. Tidak perlu lagi ada penolakan terhadap negara, atas nama memperjuangkan ajaran agama. (Hal 105)

Sulit dipungkiri bahwa wajah keberagamaan Indonesia akan turut menentukan wajah perdamaian dunia. Berdasar­kan hasil kajian Pew Research Center tentang proyeksi pertumbuhan populasi global pada 2010-2050, populasi muslim di dunia secara keseluruhan akan meningkat pesat dari 23,2% menjadi 29,7%. Dalam periode yang sama, Indonesia mendapatkan bonus demografi – yakni ketika umumnya penduduk dunia menua, Indonesia berlimpah warga berusia produktif dan mayoritas beragama Islam. Ini belum terhitung diaspora Indonesia yang tersebar di seantero dunia. 

Dapat dibayangkan, jika warga Indonesia yang berusia produktif dan beragama Islam itu tidak berkualitas dan tak pula berpandangan agama yang moderat, bonus demografi akan berubah jadi bencana demografi dan NKRI terancam tercerai berai. Lebih dari itu, karena jumlah penduduk Indonesia keempat terbesar di dunia, tentu akan berpengaruh terhadap kondisi dunia. Walhasil, tidak ada pilihan. Kita harus melakukan intervensi dalam membentuk cara pandang, sikap, dan perilaku keagamaan masyarakat kita agar bangsa ini berkontribusi positif bagi dunia.

Apakah ini berarti moderasi beragama menyasar umat Islam saja? Tentu tidak. Seperti telah dibahas sejak awal, moderasi beragama berlaku bagi semua pemeluk agama lain. Solusi atas ekstremisme beragama tidak cukup disuarakan oleh kelompok muslim saja. Semua agama, semua negara, kalangan akademisi, budayawan, politisi dan seluruh lapisan masyarakat harus menyuarakannya pula. (Hal 106)

Kementerian Agama sendiri sangat berkepentingan turut menciptakan pembangunan sumber  dayamanusia Indonesia yang disertai internalisasi nilai-nilai agama yang moderat, esensial, inklusif, toleran, rukun, nirkekerasan, serta menghargai keragaman dan perbedaan. Oleh karena itulah, Kementerian Agama menjadi leading sector dalam upaya pengarusutamaannya. Meski dari segi nomenklatur kata moderasi beragama baru dikenal sekarang, namun secara substantif misi menjaga kerukunan sesungguhnya telah dilaksanakan oleh Kementerian Agama sejak awal kelahirannya, dan terus berlangsung hingga kini mendapat momentum memperkuat moderasi beragama secara lebih sistematis dan terstruktur. (Hal 107)


Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019


Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.

MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Moderasi Beragama untuk Nirkekerasan

Secara historis, visi moderasi (jalan tengah) dalam beragama bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Dari sisi kebijakan, misalnya, substansi visi moderasi beragama bisa dilihat dari terobosan-terobosan Kementerian Agama RI terkait kerukunan hidup umat beragama, seperti telah dikemukakan sebelumnya.  Bersandar pada gagasan 'Setuju dalam Ketidaksetujuan' misalnya, Kementerian Agama menerapkan kebijakan untuk mengajak umat beragama meyakini bahwa agama yang dipeluk, itulah yang paling baik. Kendati demikian, setiap umat beragama mengakui bahwa di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya memiliki dua sisi, perbedaan dan persamaan. Pengakuan ini akan mengantarkan pada sikap saling menghargai satu kelompok agama dengan kelompok agama lainnya. (Hal 85) Image: fofona2016 Selain itu, ada juga konsep Trilogi Kerukunan di Ke­menterian Agama, yang mengupayakan terciptanya tiga kerukunan, yakni: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukun

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderĂ¢tio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga