Langsung ke konten utama

Modal Sosial Kultural Moderasi Beragama

Agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama dalam menyusun normanorma sosial kemasyarakatan. Agama di satu sisi menuntut penganutnya untuk bersikap eksklusif. Tapi pada sisi lain, agama juga mengajarkan sikap inklusif atau terbuka. Agama hadir dalam upaya menjaga, melindungi hak hidup masyarakat, serta untuk melindungi hajat hidup manusia.Agama memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. 

Pengakuan akan kedudukan dan peran penting agama ini tercermin dari penetapan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama falsafah negara Pancasila, yang juga dipahami sebagai sila yang menjiwai sila-sila lainnya. Oleh sebab itu, pembangunan bidang agama bukan hanya merupakan bagian integral pembangunan nasional, melainkan juga bagian yang seharusnya melandasi dan menjiwai keseluruhan arah dan tujuan pembangunan nasional, yang untuk periode 2005-2025 mengarah pada upaya untuk mewujudkan visi “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur.” 
Modal Sosial Kultural Moderasi Beragama

Dibanding negara-negara lain, Indonesia sangat beruntung memiliki sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang mampu memberikan kontribusi signifikan dalam penguatan harmoni dan demokrasi. Hal ini telah men­dapat pengakuan luas dari masyarakat global, khususnya dari negara-negara yang juga plural dan multikultural tapi tidak memiliki ormas keagamaan seperti di Indonesia. Tokoh-tokoh demokrasi, tokoh agama, dan para cendekiawan di Indonesia pun meyakini bahwa ormas keagamaan di Indonesia telah memberikan sumbangsih tak terhingga terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan beragama. (Hal 63)

Itu bisa terjadi karena hampir semua ormas keagamaan di Indonesia tumbuh mengakar di kalangan umatnya. Para pengikutnya meyakini bahwa mereka memiliki kewajiban, sekaligus kontribusi, secara bersama-sama membangun model praktik keberagamaan khas, yang tidak tercerabut dari akar kebudayaan dan kemasyarakatan, tetapi pada saat yang sama juga terus menerus meresepsi, beradaptasi dengan budaya baru, seraya berinovasi memikirkan kemajuan di berbagai bidang. 

Selain kukuh pada nilai agama, ormas-ormas keagamaan di Indonesia ini juga memiliki komitmen besar pada kebangsaan, NKRI, demokrasi, serta nilai-nilai luhur tradisi dan budaya yang sudah lama berkembang, sehingga membentuk karakter nasional sebagai bangsa yang religius sekaligus moderat. Ini semakin membuktikan bahwa keberagamaan yang lebih condong pada antara dua kutub ekstrem, ekstrem kanan dan ekstrem kiri, tidak cocok untuk sebuah keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa kita telah memilih jalan moderat yang diejawantahkan dalam lima sila (Pancasila) yang kemudian disepakati menjadi nilai-nilai moral publik. (Hal 64)

Ditinjau dari sudut pandang setiap agama yang ada di Indonesia, Pancasila memang seirama dan selaras dengan tujuan diturunkannya ajaran agama. Hal itu tercermin dalam sila pertama yang di dalamnya menyimpan semangat untuk mewujudkan kemaslahatan publik (common good) dengan bertumpu pada nilai agama, sila kedua menegaskan perlindungan nyawa yang merupakan hal mendasar bagi manusia, dalam sila ketiga ada jaminan untuk keturunan, sila keempat adalah cerminan dari perlindungan terhadap akal/kebijaksanaan dan sila kelima jaminan untuk pengamanan harta.

Mempertimbangkan hal ini, Indonesia merupakan potret ideal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menempatkan relasi agama secara harmonis dengan negara. Praktik yang baik ini mesti diadvokasi atau dikampanyekan secara masif ke publik bahwa pemahaman keagamaan yang moderat merupakan nature dari bangsa kita. Hal ini merupakan warisan (legacy) yang harus kita rawat bersama. 

Selain memiliki porsi yang sangat penting, agama juga menempati posisi yang unik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tercermin dalam suatu rumusan terkenal antara hubungan antara agama dan negara di Indonesia bahwa “Indonesia bukanlah negara teokratis, tetapi bukan pula negara sekuler.” Rumusan ini berarti bahwa tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak didasarkan pada satu paham atau keyakinan agama tertentu, namun nilainilai keluhuran, keutamaan dan kebaikan yang terkandung dalam agama-agama diakui sebagai sumber dan landasan spiritual, moral dan etik bagi kehidupan bangsa dan negara. (Hal 65)

Kita berada di negeri paling majemuk di dunia, Indonesia. Keragaman yang sangat tinggi ini menyimpan potensi disintegrasi yang juga sangat tinggi. Kemajemukan merupakan potensi positif apabila dijaga dan dikelola dengan benar. Namun sebaliknya, ia dapat menjadi sumber konflik jika tidak disertai dengan kuatnya pemahaman budaya serta komitmen untuk menjaga kebinekaan. Sejauh ini, masyarakat Indonesia telah banyak menunjukkan kearifan lokalnya (local wisdom) untuk menjaga persatuan dan keutuhan. Dan, kearifan lokal semacam itu adalah modal sosial yang sangat berharga untuk membangun cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang moderat.

Dengan keragaman agama yang ada, Indonesia memang tidak bisa lepas dari konflik yang bernuansa agama. Kasus-kasus yang pernah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia menunjukkan masih adanya individu atau kelompok tertentu di Indonesia yang belum bisa toleran. Hal ini juga mengkonfirmasi bahwa keadaan masyarakat Indonesia yang telah hidup ratusan tahun dalam keragaman tidak menjamin kekebalan akan konflik dan perselisihan, termasuk di antaranya masalah keberagamaan. Namun, optimisme bahwa Indonesia dapat menghadapi tantangan tersebut harus tetap dipupuk. Masih berdirinya NKRI sampai sekarang menjadi bukti bahwa negeri ini masih punya modal sosial yang kuat untuk mengatasi konflik yang ada. (Hal 66)

Salah satu modal sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia adalah budaya gotong royong yang sejak lama telah melekat pada setiap lapisan masyarakat. Gotong mempunyai arti angkat atau pikul, dan royong berarti bersamasama. Gotong royong secara harfiyah berarti mengangkat atau mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Gotong royong adalah perwujudan nyata dari semangat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Sikap ini mempunyai nilai moral yang tinggi, seperti kebersamaan, rasa empati, saling membantu, dan lebih mengutamakan kepentingan bersama. Sikap ini dapat dijumpai pada aktivitas keseharian masyarakat Indonesia seperti kegiatan perayaan, bakti sosial, aktivitas pertanian, peristiwa bencana atau kematian, bahkan sosial keagamaan. Sikap ini menggambarkan bagaimana bangsa Indonesia lebih mengedepankan kemanusiaan dan persamaan daripada perbedaan.

Kebersamaan yang ditunjukkan warga Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat pada 26 Agustus 2019, misalnya, adalah salah satu wujud gotong royong terkait sosial keagamaan tanpa saling mengganggu keyakinan. 

Saat itu, upacara kebaktian tutup peti untuk seorang warga beragama Kristen yang meninggal terpaksa dilakukan di pelataran Masjid Darussalam, dipimpin pendeta, serta dihadiri keluarga dan warga Kristiani sekitar masjid. Aktifitas itu dilakukan setelah pihak keluarga meminta izin Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) agar dapat menggunakan halaman masjid untuk kegiatan kebaktian tutup peti. Alasannya, gang menuju rumah duka terlalu sempit sehingga menyulitkan peti jenazah masuk-keluar menuju rumah duka. Pengurus DKM Darussalam mempersilakan halaman masjid digunakan untuk kegiatan peribadatan tersebut dengan niat berbuat baik saling membantu sesama, tak terkecuali terhadap pemeluk agama lain. (Hal 67)

Atas peristiwa tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan apresiasi dan menjelaskan bahwa mungkin bagi pengurus masjid dan warga setempat, peristiwa itu adalah hal biasa, bagian dari gotong royong kewargaan. Namun bagi masyarakat luas dan mata dunia ia menjadi contoh dan bukti bahwa toleransi antarumat beragama di Indonesia sangat tinggi karena masing-masing umat beragama meyakini bahwa pada hakikatnya agama diturunkan untuk senantiasa menebarkan damai dan rahmat bagi sesama.

Selain itu, modal sosial lain yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah budaya bermusyawarah yang telah diimplementasikan oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu. Masyarakat Indonesia sangatlah sadar pentingnya musyawarah dalam menyelesaikan segala bentuk permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat. Cara ini menjadi wadah bagi semua orang untuk dapat saling memberikan dan mendengarkan pendapat. Di dalam bermusyawarah, tidak ada orang atau kelompok yang dapat mendominasi dan memaksakan kehendaknya. Budaya ini dipraktikkan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai suatu kesepakatan bersama (mufakat) dalam mewujudkan kebaikan bersama.

Berkat pengalaman bangsa Indonesia yang mampu menghadapi tantangan perbedaan dengan selalu mengedepankan kepentingan bersama, Indonesia seringkali berperan sebagai penengah dan inisiator perdamaian atas konflik yang terjadi di kawasan. Misalnya, Indonesia pernah menjadi mediator atas konflik yang terjadi ketika Vietnam menduduki Kamboja. Dengan mengadakan Jakarta Informal Meeting (JIM) pada tahun 1988-1989, upaya mediasi berbuah hasil positif di mana Vietnam akhirnya menarik pasukannya dari Kamboja. (Hal 68)

Indonesia juga berhasil memediasi konflik di Mindanao antara pemerintah Filipina dan Moro National Liberaton Front (MNLF). Dengan bantuan Indonesia, perjanjian damai akhirnya dapat terwujud yang ditandai dengan penandatanganan kesepakatan untuk membuat Kawasan Otonomi Muslim Mindanao. Selain itu, Indonesia juga menjadi inisiator perdamaian yang aktif memberikan masukan atas konflik Rohingnya di Myanmar. Budaya gotong royong, mengedepankan musyawarah, dan selalu mengedepankan kepentingan bersama yang dimiliki bangsa Indonesia itu menjadi modal penting dalam penerapan moderasi beragama. 

Lebih dari itu, modal penting lainnya adalah bahwa masyarakat Indonesia memiliki pengalaman empirik mengimplementasikan moderasi beragama dalam penyelesaian sejumlah masalah keberagamaan yang muncul. Salah satu contoh kasus yang dapat dikemukakan di sini adalah pembangunan Masjid Nur Musafir di Kelurahan Batuplat, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Masjid tersebut dibangun di tengah-tengah pemukiman umat Kristiani yang menjadi mayoritas. Inisiatif pembangunan masjid ini berasal dari kebutuhan adanya masjid di wilayah tersebut untuk umat Muslim yang mencapai 279 orang. Untuk beribadah, mereka harus pergi ke kota Kupang yang jaraknya relatif jauh. 

Pembangunan Masjid Nur Musafir tidak luput dari masalah. Pada tahun 2011, peletakan batu pertama untuk membangun masjid dilaksanakan. Pembangunan ini dapat dimulai setelah panitia pembangunan masjid melengkapi semua berkas-berkas yang menjadi syarat seperti surat izin dari RT/RW dan lurah, rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Kupang, surat keputusan Wali Kota, surat persetujuan dari DPRD Kota Kupang, serta surat dukungan dari masyarakat non-Muslim setempat. Konflik muncul setelah masyarakat Nasrani dan pemuda Karang Taruna setempat memprotes dan menolak pembangunan Masjid Nur Musafir karena menganggap terjadi kecurangan dalam kelengkapan berkas pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Menurut mereka, data tanda tangan dukungan dari 65 warga Kristen yang dipakai sebagai persyaratan adalah data penerima daging kurban, bukan untuk pembangunan masjid. Pada tahun 2002, seorang warga mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid, namun juga ditolak oleh warga. Untuk menghindari eskalasi konflik, DPRD Kota Kupang merekomendasikan agar pembangunan masjid diberhentikan sementara. (Hal 69)

Untuk mengusut dan menindaklanjuti konflik ini, pemerintah daerah membentuk Tim Sembilan yang dipimpin oleh Polres Kupang Kota. Konflik ini sempat teralihkan karena Kota Kupang menyelenggarakan pemilihan wali kota. Setelah pemilihan, upaya-upaya pertemuan untuk menyelesaikan konflik ini kemudian dilanjutkan. Wali kota baru yang terpilih, Jonas Salean, memberikan kesempatan pada tim pencari fakta yang terdiri dari MUI, FKUB, dan Tim Sembilan Kasatintel Polres Kupang untuk menyelidiki konflik pembagunan masjid Nur Musafir. Pada tanggal 27 Juni 2013, Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Polinmas) Kota Kupang mengadakan musyawarah dengan seluruh komponen masyarakat Batuplat, baik perangkat kecamatan, kelurahan, tokoh agama, karang taruna, dan Forum Pimpinan Daerah. Pertemuan ini menghasilkan bahwa warga Kristen di Batuplat sangat mendukung pembangunan Masjid Nur Musafir, namun menuntut agar semua administrasi harus dilengkapi sesuai peraturan yang berlaku. (Hal 70)

Pada bulan April 2015, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan upaya mediasi dengan turut serta melibatkan wali kota beserta jajarannya, Kementerian Agama, FKUB, Ketua Sinode Gereja Masehi Injili Timor, dan para tokoh pemuda. Tujuan dari mediasi ini adalah untuk memperoleh jalan tengah yang damai dan tanpa kekerasan. Pada tanggal 31 Agustus 2015, upacara adat juga dilaksanakan guna masyarakat dapat saling melupakan kesalahan dan saling memaafkan. Setelah pertemuan-pertemuan ini diadakan, pembangunan masjid Nur Musafir dapat dilanjutkan.

Pada tanggal 11 April 2016, acara peletakan batu pertama Masjid Nur Musafir dapat terlaksana. Acara ini dipimpin langsung oleh Wali Kota Kupang bersama dengan Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama, dan Direktur Jenderal Bimas Kristen. Kerukunan antarumat beragama dapat terlihat dalam acara ini karena dihadiri oleh semua lapisan masyarakat, seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia Nusa Tenggara Timur, Kalpolda Kupang, Gerakan Pemuda Ansor Kota Kupang, Pemuda Lintas Agama Kota Kupang, serta Forum Koordinasi Pimpinan Daerah. Pembangunan Masjid Nur Musafir ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia mengedepankan musyawarah dengan pendekatan nirkekerasan dalam pernyelesaian konflik berbasis isu agama. (Hal 71)

Pengalaman empirik lain yang menggambarkan moderasi sebagai cara penyelesaian masalah adalah kasus ditolaknya Slamet Jumiarto dan keluarganya yang ingin tinggal di RT 8 Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul karena alasan perbedaan agama. Setelah mengetahui iklan yang menawarkan rumah dengan harga yang cocok, Slamet menghubungi calo dan pemilik rumah dan kemudian segera menempatinya. Ketika menanyakan tentang status agamanya yang non-Muslim, calo dan pemilik rumah memastikan masyarakat yang mayoritas Muslim tidak akan mempermasalahkan.

Hari berikutnya, Slamet menemui ketua Rukun Tetangga (RT) setempat untuk izin dan memberikan fotokopi Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, dan surat nikah. Namun, saat ketua RT mengetahui bahwa Slamet dan keluarganya beragama Katolik, ketua RT tersebut menolak Slamet dan keluarganya untuk tinggal di Dusun Karet. Menurut ketua RT 8, penolakan tersebut berdasar pada peraturan Surat Keputusan dengan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 yang melarang non-Muslim untuk tinggal di Desa Pleret. Slamet kemudian menemui Kepala Kampung setempat, namun dirinya dan keluarganya tetap tidak diberikan izin tinggal. Kepala Dukuh setempat menjelaskan peraturan yang melarang non-Muslim untuk tinggal di desa Pleret dibuat oleh sekitar 30 tokoh masyarakat dan agama dengan maksud mengantisipasi adanya campur makam antara Muslim dan agama lain.

Pemerintah Kabupaten Bantul bersama Kementerian Agama Kanwil Jogjakarta kemudian menginisiasi pertemuan untuk mediasi di kantor Sekda Kabupaten Bantul. Tidak hanya Slamet, pada pertemuan kali ini juga dihadiri oleh kepala dukuh, RT dan lurah setempat. Setelah mediasi, perte muan ini juga menyepakati peraturan pelarangan non muslim tinggal dan menetap di wilayah Pleret dicabut dan para perangkat desa yang membuat aturan tersebut meminta maaf. Forum menganggap peraturan tersebut dapat mencederai NKRI dan bertolak belakang dengan kebinekaan yang menutup ruang perjumpaan antaridentitas yang berbeda dan memunculkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda. Peraturan seperti ini justru mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan dapat mengakibatkan luka moral atas minoritas. (Hal 72)

Kisah lain yang dapat menjadi rujukan praktik terbaik penyelesaian masalah keberagamaan adalah kisah Gereja Katedral Jakarta mengubah jadwal misa di hari raya umat Islam. Pada hari Minggu tanggal 25 Juni 2017, Umat Muslim di Indonesia merayakan hari raya Idul Fitri. Banyak dari Muslim di Jakarta menggunakan Masjid Istiqlal untuk melaksanakan salat Ied pada pagi harinya. Pada waktu yang bersamaan, umat Kristen juga melaksanakan misa di Gereja Katedral yang biasanya dilaksanakan sebanyak enam kali, yaitu pada jam 06.00 WIB, 07.30 WIB, 09.00 WIB, 11.00 WIB, 17.00 WIB dan 19.00 WIB. Oleh karena lokasi Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang berdekatan, Dewan Paroki Gereja Katedral Jakarta memutuskan untuk mengubah jadwal misa hanya dilaksanakan empat kali, yaitu pada pukul 10.00 WIB, 12 WIB, 17.00 WIB dan 19.00 WIB. Para pengurus Gereja Katedral mempersilahkan umat Islam untuk memakai halaman gereja untuk parkiran sebagai dukungan mereka atas terlaksananya salat Idul Fitri. Kisah toleransi antarumat beragama ini ternyata terulang lagi pada pelaksanaan Salat Idul Adha pada 11 Agustus 2019 di Masjid Istiqlal.  (Hal 73)


Demikianlah, gerakan merajut toleransi dan kebinekaan di negeri ini terus tumbuh. Tak hanya dalam wadah dialog yang merupakan ruang perjumpaan masyarakat lintas agama, suku dan ras, melainkan juga dalam aksi solidaritas kemanusiaan. Di sejumlah daerah, masyarakat menginisiasi membangun monumen sebagai simbol perdamaian, seperti Monumen Merpati Perdamaian di kota Padang, Tugu Perdamaian di Kota Sampit, Tugu Cinta Damai di Tanjung Selor Kalimantan Utara, dan lain-lain. Selain itu, ada juga Bukit Kasih di Minahasa Sulawesi Utara yang didasari oleh sikap masyarakat Minahasa dan Tomohon yang toleran. Aneka tugu atau monumen perdamaian, bahkan mural, sebagai simbol diam itu menjadi pengingat pentingnya merajut dan menjaga toleransi.

Dari seluruh pelosok negeri, simpul-simpul toleransi mengalir merajut temali kerukunan. Kita tahu, umat Hindu dan Islam di Desa Keramas Kecamatan Blahbatu Gianyar Bali hidup rukun berdampingan. Untuk merekatkan kerukunan dibangun toleransi aktif yang wajib dijalankan oleh kedua kelompok. Saat umat Hindu melaksanakan kegiatan keagamaan hari raya Nyepi, umat Islam ikut serta dalam mengarak Ogoh-ogoh dan menyumbangkan minuman serta makanan untuk umat Hindu. Sebaliknya, saat kaum Muslim menjalankan ibadah puasa, tetangga Hindu menghormatinya dengan mengeluarkan larangan untuk tidak makan, minum dan merokok di depan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah tersebut. Saat umat Islam merayakan Maulid Nabi, umat Hindu akan memberikan sumbangan berupa makanan, dan ketika Idul Fitri, umat Hindu datang bersilaturahmi. Hal ini menandakan bahwa sikap saling menghargai merupakan ruang perjumpaaan kerukunan sekaligus menjadi pranata sosial yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang dialog manakala terjadi persoalan sosial yang melibatkan kedua pihak. (Hal 74)

Sesungguhnya model toleransi di desa Keramas juga mudah dijumpai di tempat lain. Pada hari-hari raya keagamaan, seperti Idul Fitri, di berbagai sudut pelosok desa di Jawa dikenal istilah unjung, kegiatan silaturahmi beranjangsana ke tetangga dan kerabat sekaligus untuk saling memaafkan, diikuti oleh semua lapisan masyarakat tanpa mengenal batas agama. Begitu juga ronda bersama, saling menjaga tempat ibadah, dan saling melayat jika ada warga yang meninggal.

Selanjutnya model toleransi ditemukan oleh Huda (2015) di Desa Balun Lamongan. Desa Balun adalah desa yang paling unik di Kabupaten Lamongan, bahkan mungkin di Indonesia. Di desa ini terdapat tiga agama yang dipeluk oleh warganya, yaitu: Islam, Hindu, dan Kristen, namun relasi kehidupan sosio-kultur dan sosio-religi relatif damai dan penuh toleransi di tengah perbedaan agama, sehingga desa ini dikenal dengan “Desa Pancasila” atau “Kampung Inklusif”. Tentu fenomena ini menarik karena di tengah perbedaan agama mereka dapat membangun tata kehidupan sosiokultur yang damai dan harmonis. Sementara di daerah lain perbedaan agama atau keyakinan menjadi legitimasi atau pemicu terjadinya konflik dan kekerasaan antar kelompok di masyarakat. (Hal 75)

Model toleransi yang terpola di Desa Balun adalah sebagai berikut: Pertama, perangkat desa pluralistik berasal dari seluruh elemen masyarakat yang berbeda agama, Islam, Hindu, Kristen; Kedua, keluarga multikultural yang terdiri dari beragam agama (Islam, Hindu, Kristen) dalam satu atap rumah dalah satu keluarga; Ketiga, kenduri/”ngaturi” multikultural, adalah kegiatan dalam mensikapi siklus kehidupan (hamil, kelahiran, mendapatkan rezeki, kematian) atau dalam momentum-momentum penting dalam bermasyarakat (HUT RI, puasa, hari raya) dengan mengadakan hajatan yang dipimpin pemuka agama dengan ritual doa dengan sajian makanan dan dapat “berkat” kenduren, dengan mengundang seluruh warga tanpa melihat latar belakang agama; dan Keempat, dakwah inklusif, adalah cara mengajak orang berbuat baik dan memperingatkan orang untuk tidak berbuat jahat dengan cara santun, toleran, menghargai dan menghormati dengan kelompok yang berbeda kultur, agama. Diharapkan model toleransi yang terbangun di Desa Balun dapat menjadi inspirasi dan cermin bagi masyarakat Indonesia lainya yang rawan akan terjadinya konflik, sehingga harapan kita membangun Indonesia yang bersatu, toleran, maju, damai dan harmonis dapat terwujud.

Tidak jauh dari ibukota negara Jakarta, berjarak kurang lebih 20 kilometer, terdapat Kampung Sawah (sebuah wilayah di Kota Bekasi) yang memiliki model toleransi yang sangat unik, karena kerukunan telah menjelma menjadi adat istiadat. Masyarakat Kampung Sawah, yang didominasi oleh etnis Betawi, dan biasanya etnis Betawi identik dengan keislamannya, terlatih hidup dalam perbedaan agama satu sama lain. Pelajaran menjaga hidup bersama dapat dipetik dari warga Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik di pinggir Jakarta ini.Bagi orang-orang Betawi di sini, toleransi bukan saja slogan tapi sudah menjadi adat. Tiap-tiap warga baru yang datang bisa dengan mudah merasakan kerukunan di sini, cukup dengan menerima warna-warni perbedaan sebagai kekayaan bersama. (Hal 76)

Di Kampung Sawah, tiga tempat ibadah terletak berdekatan satu sama sama lain, semuanya berada di Jalan Raya Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni hingga Kelurahan Jatimelati, Bekasi, Jawa Barat. Tiga tempat ibadah itu adalah Masjid Agung Al Jauhar Yayasan Pendidikan Fisabilillah (Yasfi), Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Kampung Sawah, dan Gereja Katolik Santo Servatius.

Adat di Kampung Sawah bisa diterapkan di masyarakat lain untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Pertama, nenek moyang mereka mengajarkan sikap toleransi sejak kecil. Belajar kerukunan bukan dari sekolah, tapi dimulai dari keluarga. Kedua, masyarakat lintas agama saling mengunjungi saat hari besar agama-agama. Ini bukanlah aktivitas ikut beribadah agama lain, melainkan silaturahmi sebagai sesama warga.

Dengan praktik-praktik seperti itu, toleransi bukan hanya berhenti sebagai sekadar nasihat melainkan menjadi praktik. Praktik kemudian menjadi adat, dan adat kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Ini juga yang menjadi sebab suasana tahun baru selalu semarak di Kampung Sawah, warga saling bersalaman, keliling, dan membaur.

Bila ada potensi konflik antarumat beragama yang terdeteksi, maka potensi itu segera dibicarakan oleh pihak pengurus rumah ibadah yang ada di kampung ini. Konflik pun bisa langsung diredam sejak dini. Saat Natal tiba, warga Muslim akan membantu mengamankan lingkungan. Bila salat Idul Fitri atau Idul Adha, warga Kristiani juga turut mengamankan. Bila ada acara di gereja namun jemaat kurang lahan parkir, maka jemaat dipersilakan parkir di halaman masjid. Untuk menjaga ketenteraman bersama, takmir masjid maupun pengurus gereja akan melarang ceramah-ceramah agama yang menyulut suasana permusuhan antarumat beragama. (Hal 77)

Pengalaman keberagamaan masyarakat di atas mencerminkan sebuah moderasi beragama yang berakar dari nilai-nilai kebaikan di masyarakat, sehingga merupakan pranata sosial yang dapat disebut sebagai kearifan lokal. Model moderasi beragama seperti ini dapat dipromosikan dan dikembangkan di tempat lain dan merupakan sebuah modalitas sosial sebagai temali kerukunan. Inisiasi yang sudah dilakukan masyarakat yang dirujuk sebagai kearifan lokal, sudah semestinya diterapkan sebagai model di tempat lain.

Beberapa model toleransi di atas niscaya merupakan cermin perilaku yang berakar pada pandangan keagamaan yang moderat. Menyikapi hal ini sudah saatnya Negara mengambil peran untuk mempromosikan model-model moderasi beragama sebagai modal sosial membangun negeri ini dalam bingkai keharmonisan. Sejumlah contoh kecil pengalaman di atas adalah contoh bagaimana masyarakat Indonesia piawai menyikapi perbedaan dengan selalu mengedepankan musyawarah, kemanusiaan, toleransi, dan kearifan lokalnya.

Bangsa Indonesia sesungguhnya mempunyai modal sosial yang kuat untuk menghadapi tantangan tantangan atas keragaman dan keberagamaan yang muncul. Konflik dan ketegangan yang muncul di masyarakat tidak selalu men­cerminkan akutnya intoleransi dan konservatisme dalam beragama. Hal itu kadang terjadi akibat ketiadaan data yang menyebabkan miskomunikasi dan salah paham sehingga menimbulkan ketegangan. (Hal 78)

Menyikapi keragaman dapat dianalogikan dengan lima jari yang telah Tuhan berikan kepada manusia. Setiap jari mempunyai fungsi dan ciri masing-masing. Apabila kelima jari itu bersatu maka akan terbangun suatu kekuatan yang besar yang dapat menyelesaikan berbagai macam pekerjaan seberat apa pun itu. (hal 79)

Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019


Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.

MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderĂ¢tio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga

Moderasi di Antara Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan

Sebagian tulisan tentang moderasi beragama seringkali hanya fokus menempatkan gerakan moderasi sebagai solusi untuk menangani masalah konservatisme beragama, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kanan. Ini menggambarkan pemahaman yang belum utuh tentang moderasi beragama, karena sesungguhnya moderasi beragama tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang ultra-konservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kiri. Kebasen adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan Kebasen berjarak 23 Km berkendara dari ibukota Kabupaten Banyumas yaitu Purwokerto melalui Kecamatan Patikraja. Kecamatan Kebasen termasuk kecamatan yang ramai karena merupakan pertemuan jalan nasional lintas selatan dan tengah yang menghubungkan wilayah Jawa Barat dan Pantura . Baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan, kedua