Langsung ke konten utama

Konteks Masyarakat Multikultural

Secara sosial dan politik, Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk mengembangkan gagasan  moderasi beragama. Setidaknya ada 3 (tiga) prinsip dasar negara yang diadopsi oleh Indonesia, dan yang sangat memungkinkan tumbuhnya watak moderat masyarakatnya dalam berbangsa, bernegara, dan beragama, yaitu:

Pertama, Indonesia bukanlah negara sekuler, bukan negara teokratis atau agama, tetapi negara kebangsaan yang berketuhanan atau beragama. Disebut sebagai negara agama jika negara tersebut memberlakukan hukum satu agama sebagai hukum nasional. Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang religius tidak memberlakukan hukum agama tertentu. Negara Indonesia juga bukan negara sekuler, sebab Indonesia tidak memisahkan sepenuhnya urusan negara dengan urusan agama. (Hal 53)

Kedua, negara berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan kebebasan beragama yang lapang dan ber­tanggungjawab. Beragama adalah menjadikan suatu ajaranagama sebagai jalan dan pedoman hidup berdasarkan keyakinan bahwa jalan tersebut adalah jalan yang benar. Karena bersumber dari keyakinan diri, maka yang paling menentukan keberagamaan seseorang adalah hati nurani. Oleh karena itu agama adalah urusan paling pribadi. Apakah seseorang meyakini dan menjalankan ajaran suatu agama atau tidak, ditentukan oleh keyakinan dan motivasi pribadi dan konsekuensinya pun ditanggung secara pribadi.

Ketiga, Negara melindungi kebinekaan atau keragaman (heterogenitas) dalam agama, budaya dan ras. Jaminan negara atas kemajemukan di masyarakat, menjadi medium yang baik bagi tumbuhnya moderasi beragama. Tiap-tiap pemeluk agama dapat mengekspresikan keberagamaan tanpa harus khawatir mendapat tekanan dari pemeluk lainnya. Selain itu, tiap-tiap pemeluk agama akan memberikan penghargaan atas ekspresi keberagamaan pemeluk lainnya. Inilah ekpresi moderasi beragama yang kongkrit terjadi masyarakat.

Bagian ini akan menjelaskan pengalaman empirik penerapan moderasi beragama dalam konteks Indonesia, yang masyarakatnya plural, multikultural, serta memiliki prinsip dasar bernegara seperti dikemukakan di atas.

Konteks Masyarakat Multikultural

Salah satu argumen penting hadirnya moderasi beragama, khususnya di Indonesia, adalah fakta masyarakat Indonesia yang sangat plural dan multikultural. Bangsa kita terdiri dari beragam suku, etnis, agama, bahasa, dan budaya. Hukum alamnya, keragaman meniscayakan adanya perbe­daan, dan setiap perbedaan potensial melahirkan gesekan atau konflik, yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan. (Hal 54)

Moderasi beragama hadir untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan beragama. Sebuah keseimbangan sangat diperlukan karena secara alamiah Tuhan menciptakan segala sesuatu di dunia ini secara berpasangan. Moderasi beragama menjaga agar dalam mempraktikkan ajaran agama, seorang pemeluk agama tidak terjebak secara ekstrem pada salah satu sisi pasangan yang dicipta.

Sebagai bangsa yang plural dan multikultural, Indonesia telah memperlihatkan keseimbangan yang patut menjadi teladan. Meski Islam adalah agama mayoritas, namun negara telah secara seimbang memfasilitasi kepentingan umat agama lain. Hal ini dapat dilihat, antara lain, dalam kenyataan  bahwa Indonesia adalah negara yang paling banyak menetapkan hari libur nasional berdasarkan hari besar semua agama, mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Berbagai ritual budaya yang berakar pada tradisi, adat-istiadat, dan kearifan lokal juga banyak dilestarikan, demi menjaga harmoni dan keseimbangan. Peran negara dalam menjaga keseimbangan ini amat penting, karena akan sangat menentukan terciptanya moderasi, yang salah satu pilarnya adalah keadilan. (Hal 55)

Berbagai catatan sejarah, artefak, dan sumber lokal telah  menunjukkan bahwa penyebaran satu agama di Indonesia pun dilakukan atas bantuan etnis dan umat agama lain yang berbeda. Tidak ada konflik atau peperangan besar atas nama penyebaran agama. Mereka hidup berdampingan; damai adalah pesan utamanya. Arsitektur rumah ibadah satu agama tidak pernah alergi pada corak atau motif arsitektur yang dipengaruhi oleh agama lainnya. Mereka bisa tegak berdiri sejajar dengan harmoni.

Masing-masing umat beragama meyakini dan taat pada ajaran pokok agamanya, tapi tetap mampu berdialog dan bekerjasama dengan yang berbeda. Kita bahkan tahu bahwa tokoh-tokoh agama yang berbeda bisa bersatu padu melawan kolonialisme, dan kokoh dalam sebuah kesepakatan bersama untuk tidak memisahkan agama dari ideologi negara, Pancasila. Begitulah modal sosial kita yang sangat berharga.

Meski sekali-sekali terjadi letupan dan gesekan, namun pada umumnya antarumat beragama di Indonesia memiliki modal sosial dasar berupa hubungan yang berdasar pada saling percaya, berpikir positif, dan mengenyampingkan prasangka negatif terhadap kelompok yang berbeda. Modal sosial dasar yang positif ini sangat penting sebagai landasaan terciptanya sikap empati, saling menyayangi, dan kerjasama kemasyarakatan. Hubungan antarkelompok yang beragam ini biasanya mengalami peningkatan tensi ketika ada faktor pemicu lain, seperti kontestasi politik, pilkada, atau pilpres. (Hal 56)

Bangsa Indonesia memang merupakan bangsa yang majemuk secara agama dan memiliki jumlah penduduk sangat besar. Dengan merujuk pada Sensus Penduduk 2010 yang merupakan sensus terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.641.326 jiwa. Berdasarkan hasil sensus tersebut, Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia. Sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen) penduduk Indonesia mengaku beragama Islam. Kemudian secara berturut-turut diikuti oleh penganut agama Kristen sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96 persen), penganut agama Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,91 persen), penganut Hindu sebanyak 4 juta jiwa (1,69 persen), penganut Buddha sebanyak 1,7 juta jiwa (0,72 persen), penganut Khonghucu sebanyak 0,11 juta jiwa (0,05 persen), dan agama lainnya 0,13 persen (Sensus Penduduk 2010, BPS). 

Kemajemukan pada tingkat agama ini masih ditambah lagi dengan kemajemukan pada wilayah tafsir agama, sehingga tidak mengherankan jika banyak mazhab, sekte, atau aliran dalam setiap agama. Semua ini akibat perbedaan kapasitas dan kemampuan berpikir masing-masing orang, perspektif, ataupun pendekatan. Selain itu, teks-teks keagamaan dalam satu agama memang bersifat terbuka terhadap aneka penafsiran yang dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan bertentangan. 

Kemajemukan adalah keniscayaan karena merupakan kehendak Tuhan, agar manusia saling menyapa, mengenal, berkomunikasi, dan bersolidaritas. Namun demikian, kemajemukan pada tingkat agama dan internal agama tersebut harus diakui potensial bagi terjadinya konflik berlatar isu keagamaan. Dalam konteks Indonesia yang multi agama di mana masing-masing agama mengajarkan bahwa dirinyalah yang paling benar, sedangkan yang lain salah, maka konflik yang mengatasnamakan agama di Indonesia tergolong permasalahan yang rawan terjadi. (Hal 57)

Luc Reychler (2006: 7) mengemukakan teori Arsitektur Perdamaian yang menyebutkan, dalam pengelolaan perbedaan agama dibutuhkan sejumlah syarat yaitu; Pertama, adanya saluran komunikasi yang efektif dan harmoni sehingga memungkinkan terjadi proses diskusi, klarifikasi, dan koreksi terhadap penyebaran informasi atau rumor yang berpotensi menimbulkan ketegangan antar kelompok sosial; Kedua, bekerjanya lembaga penyelesaian masalah, baik yang bersifat formal seperti pengadilan atau informal seperti lembaga adat dan agama; Ketiga, adanya tokoh-tokoh pro perdamaian yang memiliki pengaruh, sumberdaya dan strategi efektif dalam mencegah mobilisasi masa oleh tokoh pro-konflik; Keempat, struktur sosial-politik yang mendukung terwujudnya keadilan dalam masyarakat; dan Kelima, struktur sosial-politik yang adil bagi bertahannya integrasi sosial.

Hal ini menggambarkan bahwa kelompok-kelompok keagamaan memiliki mekanisme untuk mengatasi kegagalan negara dalam mengantisipasi dan mencegah munculnya konflik kekerasan dalam kasus keagamaan. Hal tersebut sekaligus menegaskan bahwa pengelolaan kerukunan umat beragama tidak bisa hanya bersifat top down atau dimulai dari pemerintah saja, tapi juga harus bottom up atau diinisiasi oleh masyarakat. 

Dalam konteks Indonesia yang multikultural, problem-problem kehidupan umat beragama terus bergulir. Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama mencatat dinamika kasus-kasus keagamaan tersebut dalam Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia. Sejumlah kasus-kasus keagamaan direkam dan dilaporkan dalam laporan tahunan tersebut. Laporan Tahunan tersebut sudah dilakukan sejak 2010, dan dipublikasikan setiap tahun. (Hal 58)

Berdasarkan catatan dalam Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan tersebut, umumnya isu-isu aktual keagamaan yang mengemuka, dan rawan konflik, adalah yang menyangkut aliran, paham, gerakan keagamaan, pembangunan rumah ibadah, hingga isu radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. 

Munculnya berbagai isu-isu keagamaan tersebut, menunjukkan bahwa bangsa ini masih perlu lebih menguatkan diri untuk hidup dalam rumah keragaman. Pluralitas masih dianggap sebagai ancaman. Jika dilacak secara cermat, akar penyebab konflik antara satu dengan yang lain memang tidaklah sama. Ada yang dipicu oleh kesenjangan ekonomi, perseteruan politik, atau kontestasi pemeluk agama. Namun demikian, konflik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa pemahaman agama masyarakat menjadi salah satu pemicu lahirnya konflik. Sungguh sangat disesalkan, agama yang seharusnya menjadi perekat sosial, nyatanya menjadi bagian dari faktor pemicu berbagai konflik.

Penyelesaian kasus-kasus aktual keagamaan tersebut membutuhkan strategi dan pendekatan yang didasari sikap inklusif dalam menyikapi perbedaan, akomodatif (lentur) terhadap budaya, dan mampu mengontekstualisasi nilai­ -nilai agama dengan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajarannya. Dalam hal ini, cara pandang moderasi beragama penting diterapkan untuk merespon isu isu keagamaan tersebut. Dan, Indonesia sangat beruntung karena memiliki modal sosial kultural yang kokoh untuk mengimplementasikan moderasi beragama. (Hal 59)

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara multikultur dan majemuk terbesar di dunia selain Amerika Serikat dan India. Hal ini dapat dilihat dari kondisi geografis dan sosiokultural Indonesia yang beragam, kompleks, dan luas. Sedemikian kompleksnya, para ahli mengaku sangat sulit menggambarkan anatomi Indonesia secara persis. Kebinekaan bangsa Indonesia dapat dilihat secara horizontal maupun vertikal. 

Secara horizontal, kebinekaan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan etnis, agama, makanan, pakaian, bahasa daerah dan budaya, sedangkan secara vertikal, kebinekaan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat sosial budaya, ekonomi dan pendidikan. Tidak hanya multietnis, namun negeri ini juga menjadi arena pengaruh multimental (Eropa, Cina, India, Portugis, Buddhisme, Hinduisme, Islam, Kristen, dan lainnya). Hal tersebut menjadi kekayaan dan keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia. 

Para pendiri bangsa sangat menyadari keragaman masyarakat multikultur sebagai kekayaan yang tak ternilai pada saat menyiapkan Republik Indonesia yang berasas Pancasila. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga keragaman dalam kesatuan dan persatuan bangsa. Keragaman tersebut telah tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu sebagai bentuk warisan dari nenek moyang. Berbagai kajian menjelaskan bahwa pluralisme kultural di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Singapura, dan Malaysia, sangat mencolok. Hanya ada beberapa tempat di dunia yang memiliki pluralisme kultural seperti di wilayah ini. Oleh karena itu, dalam teori politik Barat tahun ’30-an dan ’40-an, Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dianggap sebagai “lokus klasik” (tempat terbaik/ rujukan) konsep masyarakat plural. (Hal 60)

Pandangan bahwa Indonesia sebagai tempat terbaik yang menggambarkan masyarakat majemuk bukan sesuatu yang berlebihan dan mengada-ada mengingat keragaman yang dimiliki oleh bangsa ini. Penelitian mengenai keragaman bangsa Indonesia kemudian dikenal sebagai konsep multikultural, yang dapat diartikan sebagai konsep harmoni yang tumbuh dalam perbedaan budaya, di mana setiap orang memiliki sikap hormat dan menghargai ragam kebudayaan orang lain dalam komunitasnya. 

Masyarakat multikultural juga dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam budaya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, sejarah, nilai, bentuk organisasi sosial, adat, dan kebiasaan. Multikultiralisme juga dapat dianggap sebagai kearifan untuk melihat keragaman budaya sebagai realitas yang fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan ini akan tumbuh dengan baik jika setiap individu bersedia membuka diri untuk hidup bersama. 

Dengan demikian, muncul kesadaran bahwa keragaman dalam realitas dinamika kehidupan adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan, diingkari, dan ditolak. Dalam perspektif politik, multikulturalisme hadir dan tumbuh di dalam konteks perbedaan bangsa dan etnis. Multikulturalisme adalah bagian perjuangan yang lebih besar untuk demokrasi yang lebih inklusif dan toleran. (Hal 61)

Multikulturalisme dan pluralisme yang tercermin pada bangsa Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang dikenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Semboyan yang termaktub di pita lambang negara Garuda Indonesia ini mempunyai makna meskipunberbeda- beda dalam hal agama, ras, suku, bahasa, maupun budaya, namun tetap terintegrasi dalam satu kesatuan di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai sesanti atau kalimat bijak, Bhinneka Tunggal Ika mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk mempersatukan perbedaan bangsa Indonesia. Kalimat ini diambil dari Kitab Sutasoma pada abad ke-14 karangan Empu Tantular. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sedari dulu telah menyadari kemajemukan dan keragamannya, baik etnik maupun agama.

Pada masa penjajahan, semangat kebhinekaan ini dihidupkan untuk menumbuhkan semangat persatuan bangsa Indonesia. Kongres Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 juga menggambarkan semangat masyarakat Indonesia untuk saling bersatu dalam perbedaan tanpa mempermasalahkan keberagaman. Dalam konteks ini, toleransi menjadi sangat krusial yang berperan sebagai kunci dan mediasi untuk mewujudkan semangat persatuan tersebut.

Namun demikian sebagai rahmat dari Tuhan, keragaman tidak luput dari tantangan yang acap kali muncul di tengah kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Jika tidak diterima sebagai rahmat dan kekayaan bangsa, perbedaan dapat memunculkan percekcokan dan konflik pada masyarakat multikultur. Hal ini akan terjadi jika keragaman dianggap sebagai ruang pemisah yang lahir dari sikap ke-kita­ -an, menganggap orang lain bukan bagian dari kelompok kita. (Hal 62)

Bagi bangsa Indonesia, konteks masyarakatnya yang multikultural ibarat lahan subur untuk menyemai benihbenih moderasi, dan bahkan demokrasi. Lahan ini menjadi modal sosial kultural yang sangat mahal, yang harus kita jaga bersama. (Hal 63)


Referensi:

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. MODERASI BERAGAMA.  Jakarta Pusat : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Kementerian Agama RI.

Cetakan Pertama, Oktober 2019


Dikutip dari Buku Moderasi Beragama. Isi dari Tulisan Ini Tidak Menguba Tulisan dalam Buku Asli.

MODERASI BERAGAMA
Copyright 2019 oleh Kementerian Agama RI
Diterbitkan oleh:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Kementerian Agama RI
Jl.MH. Thamrin No.6 Lt. 2 Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Cetakan Pertama, Oktober 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI
Katalog Dalam Terbitan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Moderasi Beragama / oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia.
- Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.
xiv, 162 hlm; 21 cm
1. Moderasi Beragama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara p

Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderĂ¢tio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. (Hal 15) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tenga

Moderasi di Antara Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan

Sebagian tulisan tentang moderasi beragama seringkali hanya fokus menempatkan gerakan moderasi sebagai solusi untuk menangani masalah konservatisme beragama, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kanan. Ini menggambarkan pemahaman yang belum utuh tentang moderasi beragama, karena sesungguhnya moderasi beragama tidak hanya bertujuan untuk menengahi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang ultra-konservatif, melainkan juga kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kiri. Kebasen adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan Kebasen berjarak 23 Km berkendara dari ibukota Kabupaten Banyumas yaitu Purwokerto melalui Kecamatan Patikraja. Kecamatan Kebasen termasuk kecamatan yang ramai karena merupakan pertemuan jalan nasional lintas selatan dan tengah yang menghubungkan wilayah Jawa Barat dan Pantura . Baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan, kedua